.
Home » » BAHASA GAUL MENUJU KE BAHASA SENI

BAHASA GAUL MENUJU KE BAHASA SENI

Written By Hadi Prayitno on Senin, 19 Juli 2010 | 03.28

Bahasa Gaul Menuju ke Bahasa Seni (2)
Oleh ALIF DANYA MUNSYI. Dimuat di rubik Khasanah, Rubrik Budaya Pikiran Rakyat, 22 Okt.2005)

MAKA, cukup mengherankan, Kamus Lengkap Indonesia-Inggris, A Comprehensive Indonesian-English Dictionary, terbitan Mizan, memasukkan lema "mbeling" bukan dalam acuannya secara leksikal sebagai serapan bahasa Jawa yang sebetulnya hanya berarti "nakal"-nya anak-anak, tetapi justru merupakan eksplanasi dan pembeberan maknawi dari gerakan perlawanan yang saya cetuskan di Bandung itu.

Dalam kamus itu, Alan M. Stevens dan A. Ed. Schmidgall Tellings memasang entri "mbeling" sebagai disobedient (tidak tunduk terhadap), insubordinate (tidak patuh kepada), dan unconvensional (tidak menurut kaidah yang berlaku). Padahal, KBBI sendiri mencantumkan "mbeling" --agaknya berdasarkan laporan hasil penelitian tentang gerakan puisi “mbeling” tersebut, yang dikerjakan oleh tim sarjana bahasa Universitas Diponegoro Semarang di bawah Soedjarwo, untuk Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, yang notabene menerbitkan KBBI-- menurut aslinya bahasa Jawa, sebagai semata-mata "nakal".
Memang, ketika pertama saya cetuskan gerakan ”mbeling” tersebut di Bandung pada paruh pertama dasawarsa 1970-an --dengan mengajak Abdul Hadi WM dan Jeihan, dan diikuti oleh banyak nama lainnya, antara lain Seno Gumira Adjidarma, Yudhistira ANM Massardi, Noorca M. Massardi, Akhudiat, Efix Mulyadi, dan Kurniawan Junaedhi-- kata "mbeling" saya mak¬sudkan sebagai rengrengan untuk dengan cara yang nakal anak-anak, melawan tiga sasaran kemapanan (bahasa baku, bentuk artistik dan pandangan estetik, dan kebijakan politik pemerintah Orde Baru). Ini sekaligus merupakan tes kritik terhadap perkataan "urakan" yang diacu W.S. Rendra di Yogya sebagai konsep antikemapanannya.
Di dalam catatan apologia, saya katakan, kata "urakan" dalam bahasa Jawa berkonotasi negatif. Sebab, "wong urakan" adalah orang yang tidak punya sopan santun, tiada beradat, liar, namun "mbeling" dalam bahasa Jawa toh positif, sebab "cah mbeling" atau anak nakal, mestinya dididik orang tua untuk mengenal tata tertib dan sopan santun, tetapi sekali-dua bermain-main melanggar dengan cara cerdas dan jenaka, membuat orang tuanya tidak marah melainkan tertawa. Unsur itulah yang mengalas seni-seni ”mbeling” teater dan puisi.
Kelihatannya perkataan ini --yang katakanlah waktu itu tergolong dalam slang, gaul, atau okem-- sulit diterangkan pada orang yang tidak memakai bahasa Jawa sebagai bahasa tutur atau bahasa sehari-hari. Maka bisa dimengerti jika terjadi kerepotan pada penutur bahasa Inggris dalam melakukan wacaka (deskripsi) terhadap "mbeling". Demikian saya ingat, terjadi dalam sebuah kelas di University of Melbourne pada 2001.
Waktu itu, guru besar Marshall Clark dari University of Tasmania yang mengaku dengan bangga sebagai pendukung gagasan ”mbeling”, dalam uraiannya di kelas, terkesiap, "diuji" pemahamannya oleh ahli-ahli Indonesia lain yang juga sama-sama orang Australia, menyangkut keterangannya tentang "mbeling". ”Mbeling”, disebutnya, "This meaning has also taken on the connotation of the witty playfulness or mischievousness. In terms of modern Indonesian literary studies, the world "mbeling" has been associated with Remy Sylado's puisi mbeling --antiestablishment poetry-- poetry that subverts the social, political, or literary status quo."
Bahwa keterangan yang diacu Stevens dan Schmidgall-Tellings mengarah ke premis gerakan ”mbeling” boleh dibilang sesuai, kendati tidak serta-merta boleh dibilang sah. Barangkali perlu diperbandingkan juga dengan keterangan yang sesuai dari Kamus Indonesia Inggris, An Indonesian-English Dictionary oleh John M. Echols dan Hassan Shadily. Di situ catatan atas lema "mbeling" adalah Naughty of children, antiestablishment, tongue-in-cheek literature or policy.
**

SEKADAR menyimak mukabalah antara bahasa Indonesia dengan bahasa Belanda, sejenak kita perhatikan perkembangan sastra Belanda pasca-Ik Jan Cremer.

Mengapa bahasa Belanda?

Sebab bahasa Belanda telah kita kenal 350 tahun. Tata bahasa Indonesia, betapa pun, ditentukan oleh guru-guru Belanda yang meniangi dasar-dasar bahasa yang baik dan benar tersebut.

Orang-orang Indonesia yang belajar bahasa Belanda di masa lalu, niscaya mengerti benar aturan Algemeen Beschaafd Nederlands, bahasa Belanda yang baku dan santun. Bahasa seperti itu pula yang ditunjukkan oleh bapak-bapak bangsa, seperti Ki Hajar Dewantara ketika masih bernama R.M. Soewardi Soerjaningrat dalam tulisannya yang terkenal Als ik eens Nederlander was. dan G.S.S.J. Ratulangi dalam jurnal-jurnalnya di medianya yang terkenal Nationale Commentaren.

Tetapi, memang setelah prosa Ik Jan Cremer muncul pada 1964 --periode dalam tatanan global yang diwarnai oleh budaya pop-- maka bahasa dan kata-kata yang tidak baku, slang, gaul, okem, menjadi bahasa yang terpakai dalam sastra. Kees Snoek yang menulis Nederland Leren Kennen, diterjemahkan "Mengenal Masyarakat Belanda", antara lain menulis de ballen hoor yang harfiahnya sekadar "bola-bola", tetapi bisa juga berarti "pantat deh". Kata itu kini dimaksudkan sebagai salam perpisahan.

Dalam kehidupan sehari, kata-kata yang awalnya tidak baku, yang tergolong dialek, kini populer dalam wacaka. Patut diketahui terlebih dulu bahwa dialek-dialek dalam bahasa Belanda, di masing-masing wilayah, antara Fries di utara, Limburg di tenggara, dan Brabant di Selatan, memiliki perbedaan yang khas pada, antara lain, lafal-lafalnya.

Untuk melihat itu, barangkali elok jika kita simak peribahasa-peribahasa dalam beberapa contoh di bawah ini. Elok, karena peribahasa, dalam leluri budaya Belanda disebut juga sebagai wijsheden, artinya kata-kata nan bijak-bestari.

Misalnya, peribahasa dalam bahasa Belanda baku, Een boer en een varken worden knorrend vet, maka dalam dialek Brabant tulisannya menjadi "Nen boer en 'n verke woore knorrend vet." Artinya, "Seorang petani dan seekor babi sama-sama mendenguskan lemak." Atau, jika dalam bahasa Belanda diperibahasakan Beter rood haar op goede grond dan zwart har op een ezelkont, maka dalam dialek Brabant diejakan menjadi Beter rooj 'aor op goeje grond dan zwart 'aor op un ezelkont. Artinya, "Mendingan rambut merah di latar yang bagus ketimbang rambut hitam di pantat keledai."
**

KETIKA kita ikut masuk dalam frustrasi sarjana bahasa yang mempersalah-salahkan bahasa slang, gaul, atau okem, yang tidak baku, saya merasa seperti dicekoki pikiran-pikiran tentang kaidah bahasa yang tidak realistis. Saya kuatir (saya sengaja tidak mengeja "khawatir"), jangan-jangan semangat menyalah-nyalahkan bahasa tidak baku itu, lantas kita menjadi seperti Belanda yang memaksa minta tanah.

Yang paling bersemangat mempersalahkan bahasa tidak baku itu adalah peneliti-peneliti Belanda yang mengajar bangsanya tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kita ingat betapa hebatnya Ch. van Ophuysen berbicara dalam orasi pengangkatan dirinya selaku guru besar di Universitas Leiden pada 1904. Di sana ia membahas tentang kesalahan-kesalahan orang Melayu (baca: Indonesia) dalam berpentun bahasanya sendiri. Yang dipersalahkannya adalah pantun "Dari mana datang lintah/dari sawah turun ke kali/Dari mana datang cinta/dari mata turun ke hati". Dan, katanya, yang benar adalah, "Dari mana punai melayang/dari kayu turun ke padi/Dari mana kasih dan sayang/dari mata turun ke kali."

Yang dipersalahkannya, barangkali, sebab kata "lintah" dan "sawah" ditulis dengan "h", sementara jika sampiran berbunyi "h" maka isinya pun harus berbunyi "h". Ia kurang periksa bahwa kata-kata bahasa Melayu ini, sebelum ditransliterasi ke huruf latin, dulunya ditulis dengan aksara Arab gundul sebagai "linta" dan "sawa".

Adalah memang transliterasi bahasa Melayu dengan Arab gundul ke huruf Latin yang dilakukan oleh orang-orang Belanda yang banyak mengganti kata-kata yang tanpa "h" menjadi dengan "h". Akibatnya, kata-kata bahasa Melayu yang mulanya tidak berlafal "h" kemudian dieja dengan "h". Misalnya "asut" jadi "hasut", "empas" jadi "hempas", "silakan" jadi "silahkan", serta "tuan" jadi "Tuhan", dst.

Apabila "hari gini" kita masih repot diganggu pikiran-pikiran warisan kolonial tentang bahasa yang baik dan benar itu, sementara di negeri penganjurnya, Nederland, bahasanya yang Algemeen Beschaafd Nederlands sudah tergilas oleh Ik Jan Cremer, maka alangkah "telmi"-nya kita.

Betapa pun, harus dikaji bahwa bahasa Indonesia pascagerakan “mbeling” adalah bahasa yang berani. Ini bukan hanya dalam memilih kata-kata yang dulu tabu, terlarang, tak sopan, bahkan jorok, melainkan juga membeberkan secara blak-blakan kehidupan seks perempuan yang tabu pula dalam masyarakat tradisional. Hebatnya, itu dilakukan oleh perempuan sendiri dalam karya-karya prosanya.

**

UNTUK melihat lebih spesifik tentang bahasa tidak baku dalam karya sastra, baiklah disimak salah satu karya naskah drama Eugene O'Neill, pesastra Amerika yang memenangi Hadiah Nobel Kesusastraan pada 1936.
Sebelum Eugene O'Neill hadir, peta teater Amerika boleh dibilang cenderung kurang yakin pada naskah drama yang ditulis oleh pengarang Amerika. Karenanya, panggung-panggung teater di masa itu boleh dibilang sangat kuat berkiblat ke Eropa, Inggris, atau Prancis, sekitar tragedinya Shakespeare dan komedinya Moliere.

Adalah O'Neill, yang juga dua kali memenangi Hadiah Sastra Pulitzer, yang telah memberi rasa percaya diri baru pada tatanan kebudayaan Amerika, meliputi ladang kesenian, yaitu sastra di satu pihak dan teater di lain pihak. Dan, namanya amat perlu disebut di sini, sebab dari salah satu naskah dramanya kita akan melihat bagaimana larasnya ia menggunakan bahasa slang, bahasa tidak baku tersebut. Dalam naskah dramanya Desire Under the Elms --karya ini pernah difilmkan oleh Hollywood, disutradarai oleh Delbert Mann, dan dibintangi oleh Burl Ives, Sophia Loren, Anthony Perkins, 1958-- kita langsung menemukan bahasa tidak baku sejak awal cerita. Perhatikan dialog antara Simeon dan Peter pada Babak I Adegan I naskah tsb.
SIMEON: California's t'other side o' earth, a'most. We got t' calc'late.
PETER: 'Twould be hard fur me, too, to give up what we've 'arned here by our sweat.
SIMEON: Ay-eh. Mebbe he'll die soon.
Sampai adegan terakhir di babak terakhir, O'Neill menulis dialog-dialognya dalam bahasa Inggris yang tidak baku. Coba perhatikan tiga dialog dari tiga peran sebelum layar ditutup.

EBEN: I love ye, Abbie. Sun's a-risin'. Purty, hain't it.
ABBIE: Ay-yeh.
SHERIFF: It's a jim-dandy farm, no denyin'. Wished I owned it.

Kata-kata yang termasuk slang di dalam karya O'Neill bahkan sekarang dikenal di Indonesia sebagai bahasa Inggris biasa. Misalnya, "dandy" dalam dialog terakhir, sekarang melintas di Indonesia sebagai kosakata yang terpakai, sebetulnya adalah bahasa slang Amerika belaka.

Sebagian besar di antara kita yang sok-Inggris dalam bahasa sehari-hari, bahkan tidak tahu bahwa sejumlah kata yang kita kira sebagai bahasa Inggris baku, ternyata adalah American slang belaka. Kata-kata yang dimaksud ini, bisa kita peroleh dari bacaan, atau dari film, atau juga dari musik pop dan rock yang memang saban hari ada di hadapan kita. Dan, industri-industri budaya Amerika itulah yang sangat berperan menjadikan kata-kata slang sebagai kata-kata yang berbudaya.

Artinya, setelah kata-kata bahasa slang terpakai dalam bahasa budaya musik dan film, dan tersiar lewat industri-industri budaya tersebut, maka selanjutnya kata-kata yang tadinya tidak baku lantas dibakukan oleh kamus resmi bahasa Inggris.

Ambil contoh kata-kata, career woman, strip tease, frame up, talent scout, monkey business, hot dog, close up, groggy, honky tonk, knock out, dark horse, dan hijack. Dalam kamus terdahuu, Webster's Approved Dictionary, cetakan 1951, masih ditaruh di lampiran Dictionary of American Slang; tetapi dalam kamus yang baru, Longman Dictionary of English Language and Culture, cetakan pertama tahun 1993, kata-kata itu telah dibakukan menjadi bahasa standar.
**

PADA ujung bahasan ini, saya ingin menyimpulkan bahwa bahasa slang, gaul, atau okem, akhirnya mesti dilihat sebagai veritas budaya yang karib, yang mempelai. Pendek kata, yang bukan musuh seperti kecenderungan yang menyolok (saya memang tidak mengeja "mencolok") itu terlihat begitu sangar dalam deskripsi-deskripsi tentang bahasa baku oleh para sarjana bahasa.

Lebih mustadi boleh dianggap bahwa bahasa-bahasa yang digolongkan tidak baku seperti slang, gaul, atau okem, eloknya dipandang aktual sebagai dorongan ilham bagi karya-karya tulis yang menggunakan khazanah kata-kata tidak terbatas dalam membangun sosok artistiknya dan sisik estetiknya, yaitu puisi, naskah drama, prosa. Dengannya karya-karya itu mewakili, mencitrai, dan memberi wastu atas realitas yang kasatmata, tulen, dan asli.

Mestilah dibilang bahwa karya-karya kesenian kontemporer yang menggunakan kata-kata sebagai medium ekspresi tersebut, dapat dipujikan tanggung jawabnya justru pada kemampuan seniman-senimannya mengungkap, mengejawantah, mengikhtisarkan, bahkan menelanjangi realitas yang ada dan kasatmata itu. Seseorang mustahil melakukan itu, dengan imajinasi yang paling liar sekalipun, tanpa berada dalam realitas itu.

Setelah itu, barulah kita bicara bahwa kata-kata yang digolongkan tidak baku, yang telah dilintaskan, dimanfaatkan, atau tidak dipakai pesastra dalam karya sastranya, otomatis pula telah terlestarikan sebagai bahasa tulis yang bernafas panjang. (habis)***

Penulis, Sastrawan.
Sumber: http://kurniawan-junaedhie.blogspot.com/2007/12/bahasa-gaul-menuju-ke-bahasa-seni-2.html
Share this article :

0 komentar:



 
Support : Tohib Mustahib
Copyright © 2013. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger