.

Written By Hadi Prayitno on Senin, 25 Maret 2013 | 20.31

FILOSOFI NJOWO YANG NJAWANI Terlahir kebetulan di Tanah Jawa dan sebagai orang jawa, kadang sampai sekarangpun menggali makna “nJowo” sebagai ungkapan akan keterpahaman pada suatu kondisi, keadaan atau apapun yang memerlukan pemahaman, belum sepenuhnya mengerti kenapa kata “nJowo” dipakai. Penggunaan kata “nJowo” pada kalimat seperti,” Lha embuh, aku ora nJowo masalah kui,” kalau diterjemahkan secara gamblang ke bahasa Indonesia adalah,” Lha tidak tau, saya tidak Jawa dengan masalah itu”. Lucu bukan? Tetapi sebenarnya kata “ora nJowo” atau “tidak Jawa” mempunyai makna ketidakmengertian dan ketidakpahaman dari suatu kondisi. Jadi cukup dengan mengatakan itu, orang akan mengerti bahwa yang mengatakan itu benar-benar tidak mengetahui dan tidak paham. Mengetahui dan memahami mempunyai perbedaan yang prinsip bukan? Jadi menurut saya kata “nJowo” mempunyai makna keterpahaman yang paling tinggi tingkatannya dari suatu kondisi. Mengetahui tetapi kalau tidak “nJowo” akan percuma, begitu juga meskipun memahami tapi tidak “nJowo” juga percuma tho? Terus kenapa orang Jawa selalu bilang “nJowo” untuk menggambarkan keterpahaman yang paling tinggi itu? Menggali kata “nJowo” sebagai kiasan atau penggambaran tentang suatu keterpahaman, tidak lepas dari kebiasaan orang Jawa dalam berfilosofi. Orang Jawa seringkali menggunakan unen-unen untuk menyampaikan pesan menata hidup manusia. Dorongan atau nasehat itu semuanya mengerucut kepada tujuan dari hidup manusia itu sendiri untuk terus berusaha menjadi orang bener! Pinter belum tentu bener, tetapi kalau bener sudah yakin orang tersebut adalah pinter! Pintar atau pinter masih mengandung makna negatif kalau saja “kepintaran”-nya itu tidak digunakan secara benar. Dan menurut saya tidak ada orang bodoh atau bloon, tetapi hanya ada garis pemisah antara yang “sudah” paham dan “belum” paham. Karena bisa saja saya mengatakan bodoh atau bloon kepada seorang profesor yang IQ-nya tinggi, tetapi tidak “pintar” manajemen kelebihan-nya itu untuk kebaikan diri sendiri ataupun orang lain. Bener adalah pinter dalam kedudukannya yang paling tinggi untuk memaknai dan memahami suatu kondisi, keadaan atau apapun yang dikolerasikan dengan hubungan vertikal kita sebagai Makhluk Illahi dan hubungan horisontal kita dengan sesama makhluk Illahi. Konsep itu yang terus-menerus dinasehatkan leluhur melalui filosofi yang memang memerlukan “kepintaran” untuk memahaminya. Karena orang Jawa dan secara turun temurun diwarisi filosofi itu, jangan heran kalau ada orang Jawa yang belum paham dengan itu bilang…”ora nJowo” atau yang sudah mengerti, bilang “nJowo”. Dan hal yang lumrah hingga pada akhirnya orang Jawa yang tidak bisa memahami makna dari ungkapan-ungkapan ini sering dicemooh,“Wong Jowo sing ora njawani”. Alias wong Jowo sing ora nJowo! Coba dulu ingat-ingat kalau kita berbuat nakal, seringkali orang tua kita ngomong,” nJowo ora kowe, dikandani wong tuo?”. Itulah yang kemudian kata populer “nJowo” di kalangan orang Jawa yang “nJowo”. Filosofi Jawa sebagaimana sering diwejangkan orang tua kita, sudah seharusnya kita nJawani karena kita orang Jawa. Dan saya kira filosofi ini kalau dimaknai lebih dalam, mempunyai sifat yang universal. Tidak terbatas ditujukan kepada orang Jawa, tetapi sesuatu yang memang harus dipahami setiap manusia. Berikut adalah 10 filosofi hidup orang jawa: 1. Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala, Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang bisa kita berikan tentu akan lebih baik) 2. Memayu Hayuning Bawono, Ambrasto dhur angkoro (Manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak). 3. Suro Diro Joyoningrat, Lebur Dening Pangastuti (segala sifat keras hati, picik, angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar) 4. Ngluruk Tanpo Bolo, Menang Tanpo Ngasorake, Sekti Tanpo Aji-Aji, Sugih Tanpo Bondho (Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan; Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan; kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan) 5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu). 6. Aja Gumunan, Aja Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman (Jangan mudah terheran-heran; Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut; Jangan mudah kolokan atau manja). 7. Ojo Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman (Janganlah terobsesi atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan duniawi). 8. Ojo Keminter Mundak Keblinger, Ojo Cidra Mundak Ciloko (Jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah;Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka). 9. Ojo Milik Barang Kang elok, Aja Mangro Mundak Kendo (Jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan kendor semangat). 10. Ojo Adigang, Adigung, Adiguna (Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti) Dengan “nJowo” filosofi diatas mudah-mudahan bisa menjadi kendaran pengejaran makanan bathin untuk mengejar pencapaian hubungan yang harmonis antara Kawula dan Sang Khalik (Jumbuhing Kawulo Gusti). Tidak ada salahnya memahami Filosofi Jawa yang dinilai sebagai hal kuno dan ketinggalan jaman. Karena filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Dengan harapan warisan budaya pemikiran orang Jawa ini mampu menambah wawasan kebijaksanaan kita. Siap-siap dibilang “Wong Jowo sing ora njawani? nJowo ora kowe???
Share this article :

0 komentar:



 
Support : Tohib Mustahib
Copyright © 2013. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger