.
Home » » KERUSAKAN BAHASA DAN OTAK MANUSIA

KERUSAKAN BAHASA DAN OTAK MANUSIA

Written By Hadi Prayitno on Senin, 19 Juli 2010 | 03.05

Lampiran
INN Kamis, 08 Juli 2004
Kerusakan Bahasa dan Otak Manusia

BAHASA berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat bahasa dalam kehidupan. Salah satu perubahan yang dirasakan dalam bahasa adalah perkembangan kosakata dan acuannya (makna). Perkembangan kehidupan di era global mengakibatkan aktivitas kehidupan yang global - kebudayaan global.

Kebudayaan global ini muncul akibat dari pergaulan antarbangsa di dunia. Ciri masyarakat global adalah dinamis dalam hubungan dengan bangsa (budaya) lain yang menghasilkan pula kekayaan kebudayaan. Perkembangan budaya mengakibatkan perkembangan bahasa, karena hubungan tersebut dilakukan dengan menggunakan bahasa (global). Perkembangan ilmu pengetahuan pun dapat diperhatikan melalui bahasa yang dapat dipahami dan dimengerti secara global, terutama bahasa Inggris. Oleh karenanya bahasa Inggris menjadi bahasa pergaulan global, dan sebagai alat penyerap ilmu.

Perubahan kebudayaan secara kasat mata dapat terlihat dalam pengayaan kosakata, baik unsur budaya yang belum ada maupun unsur lainnya yang mempunyai kesamaan makna. Bahasa sebagai objek ilmu bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, sama seperti ilmu lain dapat diteliti. Ilmu bahasa termasuk ilmu nomotetik (bekerja mencari kaidah) sama halnya dengan ilmu lain yang termasuk ke dalam golongan nomotetik.

Bahasa sebagai unsur dasar kebudayaan menjadi alat ilmu itu sendiri, sama hal dengan statistika. Jadi, dalam menggunakan bahasa ilmiah harus logis (dapat diterima akal). Untuk dapat diterima, bahasanya harus baik (dalam pilihan kata/diksi) dan benar (dalam gramatika). Bangsa yang berbahasa dengan apik (baik dan benar atau tertib dan teratur) mencerminkan bangsa yang berpikir tertib dan teratur.

Bahasa berkembang sejalan dengan perkembangan pikiran dan perasaan manusia itu sendiri. Oleh karena itu, bahasa berkembang berarti kebudayaan pun berkembang. Pernyataan "Language moves down time in a current of its own meaning" merupakan hakikat perkembangan bahasa dalam kehidupan, dan dapat kita rasakan, terutama melalui kosakata.

Kepentingan kehidupan global menuntut kosakata baru bagi unsur budaya yang belum ada. Perubahan bahasa dapat terjadi karena gejala sosial, psikologis, pengaruh bahasa asing, dan keperluan menciptakan kosakata baru untuk kepentingan tertentu, sampai kepada kepentingan ilmu pengetahuan. Kontak budaya terjadi melalui kontak bahasa, dan perubahan bahasa biasanya terjadi antara lain sebagai akibat konvergensi gradual karena hubungan yang terus-menerus, pengaruh budaya, releksifikasi (penggantian kosakata sebuah bahasa dengan kosakata bahasa lain, sedangkan gramatikanya tetap dipertahankan), imitasi dari pola bahasa lain, dan melalui peminjaman kata.

Dalam era global budaya semakin kompleks. Kontak budaya pun semakin global, mengakibatkan perkembangan bahasa semakin kompleks pula. Pertimbangan studi bahasa antardisiplin ini mempertimbangkan bagaimana kerusakan bahasa dapat terjadi dan dapatkah disembuhkan melalui gejala-gejala penyembuhan bagian-bagian organ tubuh yang disebut otak.

Otak dipelajari melalui neurologi dan bahasa dipelajari menggunakan ilmu bahasa (linguistik). Dapatkah kerusakan bahasa akibat stroke misalnya (serangan otak biasanya disertai kelumpuhan) ini disembuhkan dengan penyembuhan hemisphere (bagian-bagian otak) yang menghasilkan bahasa (sebagai pusat bahasa)? Misalnya disembuhkan melalui latihan fonetis (lafal) yang kemudian disertai dengan penyembuhan memori dalam berpikir? Mampukah kedua disiplin ilmu ini bekerja sama?
**
NEUROLOGI mempelajari bagaimana otak itu bekerja dan membantu menyembuhkan bila terjadi kerusakan pada otak. Bagian-bagian otak itu sendiri ada yang menjadi pusat bahasa. Otak terbagi dua secara kasar, dapat dikatakan bagian yang simetris, yang disebut otak kiri dan kanan. Otak kiri lebih bertanggung jawab terhadap bahasa secara primer, sedangkan yang kanan bertanggung jawab terhadap kontrol visual dan keterampilan bagian-bagian seperti persepsi non-linguistik dan melodi musik.

Lokalisasi fungsi kognitif dan perseptual ini di dalam hemisphere tertentu yang disebut lateralisasi. Kedua hemisphere (kiri dan kanan) otak bekerja mengontrol aktivitas otot-otot seperti pada penglihatan dan pendengaran. Pembangkit minat terhadap organisasi tubuh yang menjadi pusat bahasa di dalam otak mengakibatkan studi antardisiplin ilmu kedokteran dan ilmu bahasa (linguistik).

Yang menarik perhatian adalah kenyataan otak kanan bertanggung jawab untuk menggerakkan kaki dan lengan kiri, sedangkan bagian kiri mengontrol lengan dan kaki kanan. Oleh karena itu, orang yang menderita kerusakan otak kanan (stroke misalnya) akan mengakibatkan kelumpuhan pada bagian tubuh sebelah kiri. Kontrol bagian tubuh oleh bagian yang berlawanan antara kiri dan kanan ini disebut kontralateralisasi.

Kerusakan bahasa karena kerusakan otak dapat dikelompokkan ke dalam apa yang disebut afasia (gangguan bicara karena gegar otak). Pasien yang menderita kerusakan bahasa ini dapat diamati berdasarkan kemampuan bahasa yang berbeda dari kemampuan sebelumnya. Ada yang disebut afasia broca, yaitu kerusakan daerah broca yang mengakibatkan kerusakan beberapa gejala. Pertama, kerusakan artikulasi, lalu gangguan pada sistematika subtitusi dan delesi bunyi bahasa yang disebut fonemik parafasia (klaster konsonan disederhanakan, misalnya pada kata: skor [/s/k/o/r/] menjadi [/s/o/r/] dan konsonan yang sama pada sebuah kata penyulihan /r/ dengan /l/ atau konsonan tak bersuara menjadi bersuara seperti /t/ menjadi /d/ atau letupan /p/ menjadi /f/; kemampuan untuk mempersepsi kontras fonemik masih secara relatif utuh. Hal tersebut dapat diamati dalam membedakan /rupa/ dan /lupa/ tanpa menghasilkan lafal kedua kata itu secara akurat. Berikutnya, kerusakan kemampuan untuk membentuk pola morfologis (tata bentuk kata) dan pola sintaktik. Hal yang sangat mencolok ini disebut agramatikalisasi, kehilangan kategori leksikal, antara lain preposisi dan pemarkah takrif (determiner) termasuk juga afiks infleksional seperti di dalam bahasa Inggris pada contoh ujaran berikut (pemaparan seorang tentara yang luka yang termasuk ke dalam agramatikalisasi).

"Well front soldiers campaign soldiers .. to shoot well head wound .. and hospital and so."

Ujaran pasien tersebut terdiri hampir seluruhnya nomina (kata benda) yang diujarkan dengan beberapa kategori leksikal kata fungsional (preposisi - to dan and). Kehilangan kata fungsional atau unsur-unsur bahasa secara gramatikal ini bersifat universal.

Bagaimana dengan masyarakat bahasa Indonesia yang mengalami agramatikalisasi? Hal ini pun bersifat sama kehilangan kata fungsional atau afiks dalam ujaran yang agramatikalisasi.

Afasia Broca ini disertai defisit dalam pengetahuan sintaktik, meskipun pasien dapat memahami kalimat sepanjang dapat mengandalkan pengetahuan mereka tentang makna kata dan pragmatik (bahasa pada saat digunakan). Misalnya, konstruksi pasif "Anjing dikejar kucing." atau "Kucing dikejar tikus.", sulit untuk diinterpretasi karena diperlukan kebiasaan urutan kata, preposisi, dan infleksi untuk menentukan binatang mana yang mengejar dan mana yang dikejar.

Gejala pola-pola ini berhubungan dengan afasia broca dan menjadi jelas di dalam neurologi yang harus disembuhkan adalah daerah broca. Tapi bagaimana dengan selaput-selaput otak yang halus dan bekerjanya bagian-bagian otak yang memproduksi bunyi? Jawabannya menjadi tanggung jawab ilmuwan di bidangnya. Ahli linguistik dapat meneliti dan mempelajari hasil produksi daerah broca ini dihubungkan dengan kerusakan bahasa karena kerusakan daerah broca.

Bagi ahli linguistik, broca merupakan daerah bahasa atau pusat bahasa yang mengendalikan baik artikulasi maupun peran yang unik dalam pembentukan kata dan kalimat. Daerah broca lebih berhubungan dengan unsur struktur dan organisasi bahasa. Oleh karena itu, broca bertanggung jawab untuk kaidah artikulasi yang menciptakan pola bunyi, untuk kaidah morfologi dan sintaksis, antara lain dalam membentuk kata dan frasa.
**
KERUSAKAN lain disebut afasia Wernicke yang berhubungan dengan kerusakan daerah Wernicke. Wernicke adalah pusat bahasa yang bertanggung jawab untuk memproduksi makna, seperti interpretasi kata selama pemahaman makna dan pemilihan kata selama menghasilkan produksi ujaran.

Pasien dengan afasia Wernicke mungkin menderita parafasia fonemik. Tapi ciri yang mencolok dari kerusakan ini adalah ketidakmampuan memahami bahasa lisan dan menyusun tuturan yang bermakna. Meskipun pasien Wernicke memunyai bunyi bahasa yang normal, ujaran mereka non-sensical (yang bukan-bukan atau tidak runtut dalam makna). Pertimbangkanlah percakapan berikut.

A : Bagaimana kabarnya sekarang?
B : Saya makan banyak.
A : Siapa namanya?
B : Saya. Saya ...tak tahu mencarinya.
Dengan jelas pasien (B) tidak mengerti pertanyaan dari (A). Jawabannya secara relatif memenuhi struktur yang baik, meskipun tidak memunyai kesesuaian jawaban atas pertanyaan yang diberikan. Hal tersebut merupakan peran Wernicke yang seharusnya menghasilkan perwujudan dan interpretasi makna.

Afasia lain disebut afasia konduksi. Kerusakan pada arcuate fasciculus, berdampak pada transmisi informasi dari daerah Wernicke ke daerah Broca. Gejala kerusakan ini, pertama karena informasi leksikal dari daerah Wernicke tidak dapat dipindahkan ke daerah Broca, sehingga ujarannya secara semantis tidak padu (tidak koheren). Demikian pula, karena informasi kategori morfem terikat (afiks) dan kategori leksikal tidak dapat dipindahkan ke daerah Wernicke, pemahaman bahasa menjadi rusak.

Pasien yang menderita afasia konduksi ini tidak mempunyai masalah dengan artikulasi karena unsur ujaran dikendalikan oleh daerah Broca, yang tidak rusak. Kemampuan mengulang kata dan kalimat menjadi rusak berat. Faktanya adalah karena kalimat yang dapat didengar dan diinterpretasinya, sebagai bentuk yang disimpan, tidak dapat dipindahkan ke daerah Broca untuk diproduksi.
**
ALEXIA dan Agrafia adalah kerusakan pada angular gyrus mengganggu asosiasi (citraan) pola visual dengan bentuk pendengaran, karena itu mengganggu kemampuan baca dan tulis. Kerusakan baca disebut alexia, sedangkan kehilangan kemampuan tulis disebut agrafia. Kedua kerusakan bahasa tersebut biasanya saling melengkapi.

Alexia terjadi dengan sendirinya. Penderita alexia mungkin bisa menulis, tapi tidak bisa membaca apa yang dia tulis. Kerusakan angular gyrus tidak memengaruhi pandangan. Pasien alexia dan agrafia masih bisa melihat dengan normal.

Peran angular gyrus dalam hal baca tulis sangat erat berhubungan dengan jenis dari sistem tulis dalam bahasa tertentu yang digunakan. Gambar 1. menunjukkan gambaran tentang lokasi daerah broca, wernicke, dan organ otak lain yang menentukan kerusakan bahasa. Gambar itu juga menunjukkan otak sebagai pusat bahasa yang memproduksi bahasa di dalam sistem pengendali tingkah-laku manusia.

Tulisan ini merupakan pendorong peneral bagi studi antardisiplin ilmu, karena bahasa banyak berhubungan dengan ilmu lain di samping bahasa sebagai objek dari ilmu bahasa. Kajian antardisiplin ini dapat dilakukan antara lain melalui psikolinguistik, antropolinguistik, selain yang dipaparkan tersebut di atas, yaitu melalui neurolinguistik.***
Prof. Dr. Fatimah Djajasudarma,
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Sumber:
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0704/08/cakrawala/penelitian.htm, diakses hari Jumat, 22 Juli 2005
Share this article :

0 komentar:



 
Support : Tohib Mustahib
Copyright © 2013. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger