.
Home » » ORANG TUA MAU MENDONGENG, ANAK AKAN BELAJAR BAHASA

ORANG TUA MAU MENDONGENG, ANAK AKAN BELAJAR BAHASA

Written By Hadi Prayitno on Senin, 19 Juli 2010 | 03.08

Orangtua Mau Mendongeng, Anak akan Belajar Bahasa

Kemampuan menggunakan bahasa pada anak tentu diperoleh dengan proses pembelajaran. Khusus untuk anak yang prasekolah, proses pembelajaran bahasa diperoleh dari orangtua dan lingkungannya. Karena itulah orangtua dan lingkungan anak berperanan sangat besar dalam menumbuhkembangkan penguasaan bahasa pertamanya termasuk pola pikirnya. Bahasa pertama yang dikuasai anak itu disebut bahasa ibu (B1) oleh para pakar bahasa. Kalau pemerintah ingin menggalakkan penggunaan bahasa Bali, B1 -- yang bahasa Bali -- inilah yang perlu digalakkan.
DONGENG (atau juga satua Bali) adalah dunia imajinasinya anak dan di dalamnya tentu berkaitan erat dengan aspek penguasaan atau penggunaan B1. Dongeng merupakan salah satu aspek dalam pemerolehan bahasa ibu pada anak seperti yang dikemukakan Prof. Dr. I Made Gosong (2002), dosen IKIP Singaraja, dalam salah satu makalahnya.
Jika proses belajar bahasa ibu ini dikuasai juga lewat mendengarkan dongeng, tentu beberapa aspek lain dapat diperoleh secara simultan oleh anak, misalnya nilai-nilai budi pekerti, kepekaan emosional bahkan yang spiritual. Sayang, kebiasaan mendongeng zaman sekarang semakin terkikis (istilah dari Prof. Gosong) karena semakin terdesak oleh media elektroik (televisi) dengan suguhan cerita karton yang serba instan itu.
Lewat televisi, anak secara langsung dapat menikmati suguhan (hiburan) tanpa repot-repot mereka bertanya-tanya. Namun ketidakrepotan anak seperti mengajukan pertanyaan saat mendengarkan dongeng, justru berdampak kurang baik dalam pemerolehan bahasa, perkembangan mental, dan pemikiran anak. Mereka kurang terbiasa berkomunikasi (bertanya) secara aktif. Mereka pun seolah sudah diajar menjadi anak yang malas menggunakan pikirannya akibat menikmati suguhan yang serba instan itu.
Dari sisi pembelajaran bahasanya, anak juga kurang produktif. Lewat tayangan-tayangan itu mereka lebih banyak bersifat reseptif -- hanya bersifat menerima -- dalam pemerolehan bahasa. Akhirnya, anak kurang peka pikiran dan perasaannya sebab yang bercerita itu bukan manusia yang bisa diajak berkomunikasi.
Tentu sangat berbeda jika anak mendengarkan dongeng secara langsung dari seseorang, biasanya orangtua, guru atau orang dewasa lainnya. Kepekaannya akan terlatih dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada si tukang cerita itu. Di sinilah anak-anak belajar menggunakan bahasa secara produktif. Mereka mengadakan interaksi yang penuh kreatif. Sekurang-kurangnya begitulah yang dirasakan ketika orang mendengarkan dongeng tempo dulu.
Bagaimana menghidupkan kembali kebiasaan mendongeng seperti masa silam? Bukanlah persoalan mudah untuk mengembalikan kebiasaan mendongeng karena saingan media audio visual itu. Namun demikian bukan berarti tidak ada jalan lain. Lewat pendidikan formal -- sekolah, kegiatan mendongeng dapat dihidupkan kembali dengan memasukkan dalam kurikulum.
Begitulah, mendongeng dapat melejitkan kemampuan anak dalam menggunakan bahasa. Di tingkat pendidikan awal (prasekolah), kemampuan menggunakan bahasa sering dijadikan indikator kecerdasan seorang anak, tentu tidak mutlak. Begitu pula kalau seorang anak yang sering bertanya seperti ketika mendengarkan dongeng atau dalam proses belajar-mengajar di kelas adalah anak yang memiliki kepekaan yang tinggi (cerdas). Kadang-kadang dalam hal ini kepekaan disinonimkan dengan kecerdasan. Dalam konteks ini, perbedaan makna kecerdasan dan kepekaan tidaklah dipersoalkan. Jadi, baik kecerdasan maupun kepekaan dapat diperoleh lewat proses pembelajaran.
Bersifat Terpadu
Kalau dicermati, mendongeng adalah pembelajaran yang bersifat terpadu (holistik) dari banyak mata pelajaran. Di dalamnya, selain belajar bahasa, sekaligus ada agama (mental spiritual), budi pekerti, moral, sosial, cinta lingkungan bahkan melejitkan kecerdasan intelektual -- dasar matematika. Misalnya, bukankah dengan menggunakan banyak akal (alternatif), siput bisa mengalahkan kancil yang bisa berlari dengan kencang itu. Dengan mengumpulkan sejumlah temannya (memupuk rasa persatuan), siput bisa menang. Jadi kalau manusia itu mau menggunakan akalnya, maka kesulitan hidup itu akan dapat diatasi. Jadi, untuk apa anak di kelas satu dan dua SD dibebani dengan banyak mata pelajaran kalau bisa dilaksanakan dengan terpadu lewat dongeng? Dengan kata lain, selama ini anak dibebani dengan banyak mata pelajaran di sekolah.
Disadari atau tidak, dalam kegiatan mendongeng ini pulalah anak memperoleh kaidah-kaidah kebahasaan yang rumit itu. Dalam jangka waktu yang tidak begitu lama anak sudah menguasai struktur bahasa sesuai dengan tingkatan umur mereka. Bandingkan kondisi ini dengan belajar bahasa tertentu -- selain B1 -- di tingkat sekolah formal. Bertahun-tahun mereka belajar bahasa itu, ternyata setelah tamat sebagian anak belum bisa menggunakan bahasa yang dipelajarinya itu dalam berkomunikasi.
Sesungguhnya, ketidakmampuan tamatan sekolah menggunakan bahasa tertentu sudah menjadi perhatian para pakar pembelajaran bahasa. Sayang, temuan para pakar ini kurang mendapatkan perhatian akibat sistem pendidikan kita yang bersifat sentralistik. Mengubah sistem yang puluhan tahun berlaku itu tentu bukan perkara mudah. Guru masih percaya kepada tingginya angka ujian akhir (nasional) karena sudah lama dijadikan tolok ukur utama.
Sekarang menjadi tugas kita bersama, lebih-lebih pemerintah, untuk kembali menghidupkan kegiatan mendongeng di sekolah lewat kurikulum. Kemudian, secara teknis, mendongengnya pun tidaklah hanya di dalam kelas. Anak-anak bisa saja diajak ke tanah lapang (di alam terbuka) duduk di atas rumput atau di bawah pohon, sedangkan guru membacakan dongeng (mendongeng langsung secara lisan). Suasana yang santai ini tentu akan mengubah kesan monoton dalam proses pembelajaran. Kesan monoton inilah yang membuat anak kadang malas sekolah. Bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau rasa malas sudah ada pada diri anak apalagi rasa malas itu ada juga pada gurunya.
Sekolah selama ini kurang memperhatikan suasana yang diperlukan dalam proses belajar. Siapa pun sesungguhnya ingin suasana yang beda untuk menambah gairah belajar. Pembelajaran selalu diwarnai oleh kondisi rutinitas di kelas. Metode pembelajarannya pun kurang pas sehingga terasa anak dibebankan dengan hapalan-hapalan untuk bisa menjawab soal-soal pada ulangan umum. Sistem inilah yang perlu diubah di era otonomi daerah ini.
* IGK Tribana
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/4/27/k1.html, diakses hari Jumat, 22 Juli 2005
Share this article :

0 komentar:



 
Support : Tohib Mustahib
Copyright © 2013. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger