.
Home » » PELANGGARAN AWAL UU SISDIKNAS

PELANGGARAN AWAL UU SISDIKNAS

Written By Hadi Prayitno on Senin, 19 Juli 2010 | 03.07

Selasa, 26 Agustus 2003



Pelanggaran Awal UU Sisdiknas
Oleh Ki Supriyoko

ANGGARAN pendidikan nasional tahun 2004 belum menunjukkan tanda- tanda memuaskan. Hal ini dapat disimak dari pidato kenegaraan Presiden Megawati Soekarnoputri di depan sidang DPR tanggal 15 Agustus 2003 lalu.
Dalam pidato yang sekaligus penyampaian nota keuangan pemerintah itu Presiden menyatakan, sektor pendidikan, kebudayaan, pemuda, dan olahraga, dalam RAPBN 2004 mendapatkan alokasi anggaran Rp 15,2 triliun.
Secara lebih rinci dijelaskan, anggaran pendapatan negara tahun 2004 nanti direncanakan sebesar Rp 343,9 triliun; sedangkan anggaran belanjanya mencapai Rp 368,8 triliun. Selanjutnya anggaran pengeluaran pembangunan sebesar Rp 68,1 triliun, bersumber dari pembiayaan rupiah serta pinjaman proyek dan hibah.
Bila dilakukan persentase, anggaran pendidikan Rp 15,2 triliun itu memang mencapai 22,4 persen atas anggaran pembangunan. Tetapi, bila dipersentase atas RAPBN, besarnya hanya 4,12 persen. Angka ini relatif kecil dibanding "bilangan ideal" dalam UUD 1945 yang mengamanatkan besarnya anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN.
Pelajaran pertama
Seorang guru Bahasa Indonesia pada SMU, secara kreatif dan kritis membawa naskah pidato kenegaraan itu ke kelas, membagi copy-nya kepada para siswa dan memintanya untuk membaca secara cermat naskah itu. Selanjutnya Sang Guru mengingatkan, sekitar sebulan lalu ia pernah melakukan hal yang sama dengan membagi copy naskah Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang lebih dikenal dengan UU Sisdiknas.
Tugas siswa, menurut sang guru, mendiskusikan copy naskah pidato kenegaraan itu dengan sesama teman (guru itu menyebutnya aplikasi dari metode peer discussion) mengenai korelasi angka-angka dalam naskah pidato presiden dengan angka-angka dalam UU Sisdiknas.
Para siswa SMU itu mencermati anggaran pendidikan sebesar Rp 15,2 triliun, membagi dengan anggaran belanja negara Rp 368,8 triliun untuk mendapatkan angka 4,12 persen. Itu antara lain yang diperoleh dari naskah pidato presiden. Siswa lalu mencermati naskah UU Sisdiknas dan memperoleh pesan pada Pasal 49 Ayat (1) yang menyebutkan, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, dialokasikan minimal 20 persen dari APBN sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.
Dengan membandingkan angka-angka itu, diskusi kelas mengambil kesimpulan, telah terjadi pelanggaran awal atas UU Sisdiknas yang baru saja ditandatangani Presiden RI 38 hari sebelumnya, tepatnya 8 Juli 2003.
Seandainya pemerintah konsekuen dengan pesan UU Sisdiknas, begitu argumentasi para siswa SMU untuk mendukung kesimpulan diskusinya, mestinya pemerintah mengalokasi anggaran pendidikan minimal sebesar Rp 73,76 triliun. Angka ini diperoleh dari pelajaran Matematika di SD dulu, yaitu 20 persen dikalikan anggaran belanja negara yang besarnya Rp 368,8 triliun. Boleh saja kita menertawakan kepolosan siswa SMU dalam perhitungan sederhana ini, tetapi harus diingat, justru dalam kepolosan ini terkandung nilai kejujuran yang kian mahal harganya.
Ketika sang guru menanyakan, siapa atau pihak mana yang paling bersalah dengan pelanggaran awal UU Sisdiknas, para siswa berpendapat, yang bersalah adalah pemerintah. Para siswa SMU yang kreatif dan kritis itu mencoba menunjukkan dasar hukumnya, Pasal 46 Ayat (2) UU Sisdiknas yang secara eksplisit menyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur pada Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945.
Itulah pelajaran pertama dari kasus dialokasikannya anggaran pendidikan (yang hanya) sebesar Rp 15,2 triliun dalam RAPBN Tahun 2004 yang baru saja disosialisasikan Presiden RI.
Pelajaran kedua
Mengenai kesimpulan diskusi siswa bahwa pihak yang bersalah atas pelanggaran awal terhadap UU Sisdiknas ialah pemerintah, sang guru mencoba menjelaskannya lebih dalam. Meski secara yuridis pihak pemerintah paling bertanggung jawab atas pelanggaran awal itu, tetapi secara historis dan politis kesalahan tidak mutlak ada pada pihak pemerintah. Bila kita berlaku obyektif dalam memberi evaluasi kritis atas perkembangan RAPBN dengan sektor pendidikannya, sebenarnya telah terbaca adanya kehendak baik pemerintah untuk memajukan pendidikan nasional.
Angka Rp 15,2 triliun yang dialokasikan pada sektor pendidikan, relatif kecil dibanding kebutuhannya; meski demikian, anggaran pendidikan dalam struktur RAPBN merupakan suatu prioritas. Bandingkan dengan sektor pertahanan dan keamanan yang hanya Rp 10,5 triliun, sektor transportasi, meteorologi, dan geofisika sebesar Rp 9,6 triliun, serta sektor kesejahteraan sosial, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan sebesar Rp 7,1 triliun. Sektor-sektor pembangunan yang lain angkanya lebih rendah. Penempatan pendidikan sebagai prioritas dapat diartikan sebagai kehendak baik pemerintah untuk mengembangkan pendidikan nasional di masa depan.
Selain membandingkan angka-angka, kehendak baik pemerintah juga dapat dipahami dari adanya kenaikan anggaran pendidikan. Ilustrasi nyata: anggaran belanja dalam RAPBN 2003 adalah Rp 370,6 triliun, sedangkan RAPBN 2004 adalah Rp 368,8 triliun atau mengalami penurunan sekitar 0,5 persen. Sementara itu, untuk anggaran sektor pendidikan dalam struktur RAPBN 2003 sebesar Rp 13,8 triliun, sedangkan dalam RAPBN 2004 sebesar Rp 15,2 triliun atau mengalami kenaikan sekitar 10 persen. Di saat anggaran belanja negara mengalami penurunan, ternyata anggaran untuk sektor pendidikan mengalami kenaikan.
Nilai RAPBN Tahun 2004 memang relatif kecil dibanding kebutuhan pembangunan nasional. Nilai kecil ini pun sebagian masih harus digunakan untuk pembayaran bunga utang sebesar 68,5 triliun atau sekitar 18,6 persen dari anggaran belanja negara. Secara historis pemerintah sekarang menerima warisan utang yang harus dibayar.
Jadi, begitu pendapat sang guru yang dikomunikasikan kepada anak didiknya, kesalahan atas pelanggaran awal UU Sisdiknas tidak mutlak pada pemerintah. Kesalahan itu tertumpu kepada penyusun UU Sisdiknas yang terlalu bersemangat menorehkan angka 20 persen tidak termasuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan dalam formulasi pasal-pasalnya tanpa melihat realitas dan kekuatan nyata yang dimiliki negara. Pengesampingan realitas dan kekuatan nyata inilah yang memberi peluang atas pelanggaran UU Sisdiknas itu sendiri.
Itulah pelajaran kedua dari seorang guru Bahasa Indonesia yang kreatif dan kritis kepada siswanya di sebuah SMU. Alangkah majunya pendidikan kita bila semua guru kreatif dan kritis seperti itu, meski dalam banyak kasus di negeri ini kreativitas dan kekritisan guru kadang mendatangkan malapetaka bagi dirinya.
Prof Dr Ki Supriyoko MPd Ketua 3 Majelis Luhur Tamansiswa; Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) bermarkas di Tokyo, Jepang
Share this article :

0 komentar:



 
Support : Tohib Mustahib
Copyright © 2013. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger