PENELITIAN BAHASA GAUL DALAM FILM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Film merupakan manifestasi perkembangan kehidupan budaya masyarakat pada masanya. Dari zaman ke zaman, film mengalami perkembangan baik dari segi teknologi yang digunakan maupun tema yang diangkat. Hal ini disebabkan film berkembang sejalan dengan unsur-unsur budaya masyarakat yang melatarbelakanginya, termasuk di dalamnya adalah perkembangan bahasa.
Ekky Imanjaya juga menuliskan pernyataan yang sama bahwa film adalah arsip sosial yang menangkap jiwa zaman (zeitgeist) masyarakat saat itu (2006: 29). Artinya, film tidak dapat terlepas dari kondisi sosial budaya masyarakat yang melatarbelakangi pembuatan film tersebut. Dengan kata lain, film merupakan cerminan budaya manusia.
Film tidak dapat terlepas dari kerja sebuah tim. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah proses produksi film dibutuhkan seorang produser, penulis skenario, sutradara, asisten sutradara (astrada), aktor atau aktris, ahli make up, ahli properti, hingga hal esensial yang tidak kalah penting yaitu musik pengiring atau yang lebih dikenal sebagai soundtrack.
Fungsi soundtrack adalah menjiwai keseluruhan adegan atau setidak-tidaknya mewakili gambaran suasana tertentu dalam sebuah film. Hampir di setiap film remaja yang populer di Indonesia, soundtrack film dikerjakan oleh dua komposer ternama, Melly Guslow dan Anton Hood. Soundtrack inilah yang nantinya juga berperan sebagai publikasi film kepada masyarakat. Bahkan, terdapat soundtrack yang dipublikasikan jauh hari sebelum filmnya diputar di bioskop. Hal ini dapat disimpulkan bahwa film dan soundtrack sama halnya dengan koin mata uang yang saling memenuhi masing-masing sisinya.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Serah Simpan dan Pengelolaan Rekam Film Cerita atau Film Dokumenter dijelaskan bahwa Karya Rekam Film Ceritera atau Film Dokumenter pada dasarnya merupakan salah satu karya budaya bangsa sebagai perwujudan cipta, rasa, dan karsa manusia, serta mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan pada umumnya, khususnya pembangunan pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penyebaran informasi. (www.imlpc.or.id)
Fenomena semakin maraknya film remaja di Indonesia, seperti sekarang ini, ternyata melalui proses sejarah yang panjang. Proses ini diawalai ketika bioskop-bioskop di wilayah kabupaten mulai bangkrut, tutup, dan tergusur yang selanjutnya menjadi pertokoan atau pusat perbelanjaan. Bangkrutnya bioskop tersebut tidak terlepas dari hadirnya VCD atau DVD baik yang secara legal maupun ilegal beredar di pasaran. Masyarakat tentu lebih memilih menonton film di rumah daripada di bioskop, karena biaya di bioskop lebih mahal. Semaraknya industri televisi swasta juga turut mengikis produksi perfilman nasional. Apalagi persaingan televisi swasta mampu menghadirkan film dan acara yang digemari oleh masyarakat.
J.B Kristanto (Kompas, 2005) menyatakan bahwa bangkrutnya bioskop di wilayah kabupaten itu disertai dengan tumbuhnya raksasa jaringan bioskop yang dikenal dengan Jaringan Bioskop 21 (baca: Jaringan Bioskop Twenty One). Jaringan Bioskop 21 yang berkonsentrasi di kota-kota besar dalam bentuk multipleks tersebut sebenarnya sudah mulai tumbuh di akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an. Lebih khusus lagi, Jaringan Bioskop 21 ini juga berkonsentrasi di mal-mal yang menjamur di hampir semua ibu kota propinsi. Hal ini juga membawa akibat pada perubahan karakteristik penonton yang sebagian besar adalah remaja dari masyarakat menengah ke atas. Penonton inilah yang harus dihadapi oleh para pembuat film (sineas).
Tahun 1990-an muncul isu bahwa produksi perfilaman di Indonesia mengalami stagnasi. Hal ini mungkin benar jika dilihat dari segi kuantitas film yang diproduksi di bioskop selama kurun waktu tersebut. Pada kenyataannya, walau tanpa berada di bioskop, film Indonesia terus berproduksi. Pemutaran film tersebut dapat dilakukan dalam bentuk proyeksi video digital baik di tempat umum atau tempat khusus serta baik yang ditiketkan atau digratiskan.
Dari Sumber yang sama, Kritanto (Kompas, 2005) menguraikan bahwa kesan lesu dunia perfilman di Indonesia muncul karena masyarakat tidak melihat tampilnya film-film di bioskop dan kualitas film hasil produksi selama kurun waktu tersebut. Padahal, pada tahun-tahun yang paling sulit pun sebenarnya tetap ada usaha memproduksi. Ada sekitar 13 film yang langsung beredar dalam bentuk VCD, atau langsung ditayangkan untuk umum dalam bentuk proyeksi video digital di bioskop umum, tempat khusus yang mengadakan pemutaran film dengan membayar tiket masuk, atau festival-festival di dalam negeri (JiFFest) dan di luar negeri.
Selanjutnya, pada awal tahun 2000 empat sineas yang memiliki pandangan idiologi yang berbeda membuat sebuah film yang merepresentatifkan dunia remaja para sineas tersebut, Kuldesak. Secara komersial, film tersebut tidak begitu membuahkan hasil, tetapi film tersebut telah menyakinkan para sineas baru untuk terus memproduksi film. Tahun berikutnya disusul oleh Petualangan Sherina yang secara komersial jauh lebih baik daripada Kuldesak. Keberuntungan secara komersial juga berlanjut dalam produksi film selanjutnya, Ada Apa Dengan Cinta (2002). Film yang ditonton lebih dari tiga juta penonton dan sukses di Malaysia inilah yang menjadi penggerak produksi perfilman di Indonesis, khususnya genre film remaja.
Berdasarkan pertimbangan bahwa film Ada Apa Dengan Cinta sebagai film remaja Indonesia terlaris dan sebagai film yang memotivasi tumbuhnya produksi film di Indonesia, khususnya film remaja, maka film Ada Apa Dengan Cinta dianggap representatif untuk diteliti. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah ditulis oleh Yus R. Ismail (Pikiran Rakyat, 2005) bahwa film Ada Apa Dengan Cinta merupakan film yang menjadi salah satu tonggak kebangkitan film di Indonesia. Di samping itu, film tersebut juga mampu mengembalikan antrean bioskop panjang film Indonesia yang sudah lama sepi.
Perkembangan terakhir pada tahun 2006, film remaja Indonesia Heart berhasil menduduki peringkat teratas berdasarkan jumlah penonton terbanyak, yaitu 1,3 juta orang di dalam negeri dan 3,5 ribu penonton di Malaysia (Suara Pembaruan, 2006). Film yang disutradarai oleh Hanny R. Saputra dan beredar sejak 11 Mei 2006 lalu tersebut dinyatakan sebagai film terlaris dalam sebuah artikel oleh Suara Pembaruan (2006) berjudul “Heart, Film Terlaris Tahun Ini”. Film remaja yang lama diputar di bioskop seluruh Indonesia tersebut dinominasikan piala Antemas sebagai film yang meraih penonton terbanyak pada festival Film Indonesia 2006.
Film Heart merupakan film remaja Indonesia yang aktual. Keaktualan tersebut tampak pada waktu pemutaran film di bioskop. Sebagai film aktual, Heart, telah merekam sejumlah unsur-unsur budaya baru yang melatarbelakanginya yang tidak terdapat dalam film-film remaja sebelumnya. Salah satu unsur-unsur budaya yang dimaksud adalah perkembangan bahasa gaul remaja Indonesia. Oleh karena pertimbangan keaktulan film dan film terlaris tahun 2006, film remaja Indonesia Heart dianggap pantas untuk diteliti sebagai representatif film remaja Indonesia.
Pada dasarnya, remaja memiliki bahasa tersendiri dalam mengungkapkan ekspresi diri. Bahasa remaja tersebut kemudian dikenal sebagai bahasa gaul remaja. Bahasa gaul inilah yang ditangkap oleh penulis sekenario untuk menghidupkan suasana atau atmosfer remaja dalam film remaja Indonesia. Kemudian, penulis skenario menuangkannya dalam bentuk dialog. Dengan kata lain, film mampu menjadi salah satu sarana untuk mensosialisasikan bahasa gaul yang kini banyak digunakan oleh remaja Indonesia baik yang berada di kota maupun di pelosok desa.
Apabila ditinjau lebih lanjut, masa remaja merupakan masa kehidupan manusia yang paling menarik dan mengesankan. Masa remaja memiliki karakteristik antara lain petualangan, pengelompokan, dan kenakalan. Ciri ini tercermin juga dalam bahasa mereka. Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa rahasia (Sumarsana dan Partana, 2002:150).
Dialog film remaja sebagai representatif tutur remaja yang melatarbelakanginya sangat berbeda dengan bahasa Indonesia yang sesuai dengan tata bahasa Indonesia baku. Hal ini disebabkan bahasa gaul merupakan bahasa santai sebagai bahasa sehari-hari.
Distribusi bahasa gaul sering tidak memperhatikan konteks yang tepat. Beberapa film remaja Indonesia menampilkan adegan seorang siswa SMA menggunakan bahasa gaul ketika berkomunikasi dengan kepala sekolah.
Dari salah satu adegan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa gaul sebagai tutur remaja dilihat dari segi distribusinya atau pesebarannya dapat dikatakan telah berhasil menjadi bahasa identitas remaja. Sebaliknya, bahasa remaja menjadi dampak negatif apabila dilihat dari segi ketidakmampuan remaja menempatkan bahasa dalam konteks sosialnya.
Ani Arlina Kholid dalam Pikiran Rakyat menyatakan bahwa salah satu ciri atau sifat bahasa yang hidup dan dipakai di dalam masyarakat, apa pun dan di manapun bahasa tersebut digunakan, akan selalu terus mengalami perubahan. Bahasa akan terus berkembang dan memiliki aneka ragam atau variasi, baik berdasarkan kondisi sosiologis maupun kondisi psikologis dari penggunanya. Oleh karena itu, dikenal ada variasi atau ragam bahasa pedagang, ragam bahasa pejabat/politikus, ragam bahasa anak-anak, termasuk ragam bahasa gaul.
Dalam kelompok tutur tercatat bahwa tutur generasi tua berbeda ragam dengan tutur generasi muda. Hal ini tidak berarti bahwa bahasa generasi tua berbeda dengan bahasa generasi muda. Umumnya perbedaan itu terletak pada fitur linguistik tertentu yang hanya dapat ditemukan pada tutur generasi tua, atau fitur-fitur yang lebih sering digunakan oleh generasi tua. Generasi muda mungkin masih sering memakainya, namun hanya dalam tulisan. Sedangkan generasi tua memakainya dalam komunikasi lisan. Sebaliknya, pada tutur generasi muda, kita bisa menemukan fitur-fitur linguistik yang tidak terdapat atau jarang muncul pada tutur generasi tua. (John T Platt, Heidi K. Plat, 1975:63)
Bahasa gaul remaja sebagai variasi bahasa mempunyai karakteristik tersendiri yang membedakan tutur remaja dengan tutur bahasa yang lain. Karakteristik bahasa gaul remaja tampak pada pilihan kosakata, ungkapan, pola, dan strukturnya.
Remaja sebagai kelompok sosial tertentu yang ada di dalam masyarakat menggunakan bahasa gaul tidak hanya ketika berkomunikasi dengan anggota kelomponya, tetapi juga dengan kelompok generasi tua. Selain itu, bahasa gaul rermaja memiliki keunikan-keunikan yang bersifat kreatif dan memiliki nilai sosial tersendiri. Oleh karena itu, penelitian berjudul “Pemakaian Bahasa Gaul Antartokoh dalam Film Remaja Indonesia Ada Apa Denagn Cinta dan Heart” menarik untuk diamati dan diteliti.
1.2 Permasalahan
1.2.1 Ruang Lingkup Masalah
Untuk memperjelas ruang lingkup permasalahan, maka dalam penelitian ini hanya meliputi pemakaian bahasa gaul remaja yang terbatas pada percakapan yang dilakukan antartokoh film remaja Indonesia. Adapun permasalah pokok yang diteliti meliputi kosakata, ungkapan, intonasi, pelafalan, pola, konteks serta distribusi bahasa gaul.
Mengingat semakin berkembangnya arus komunikasi, maka siswa telah mengesahkan pemakaian bahasa gaul di setiap situasi dan tidak memperhatikan keadaan dengan siapa dan dimana mereka menggunakan bahasa tersebut. Kalau hal itu sampai dibiarkan terus terjadi, maka sikap kesopanan berbahasa sebagai bentuk kesopanan terhadap orang yang lebih tua sudah terabaikan.
1.2.2 Rumusan Masalah
Dari ruang lingkup permasalahan tersebut di atas, dapatlah dirumuskan permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:
1) bagaimana karakteristik kosakata bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
2) bagaimana bentukan kata bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
3) bagaimana struktur bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
4) bagaimana bentuk ungkapan, intonasi, dan pelafalan bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
5) bagaimana distribusi bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk memeriksa pemakaian bahasa gaul dalam dialog antartokoh film remaja Indonesia. Secara khusus, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1) mendiskripsikan karakteristik kosakata bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
2) mendiskripsikan bentukan kata bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
3) mendiskripsikan struktur bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
4) mendiskripsikan bentuk ungkapan, intonasi, dan pelafalan bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
5) mendiskripsikan distribusi bahasa gaul sebagai tutur remaja di Indonesia yang tercermin dari dialog-dialog antartokoh film remaja Indonesia?
1.4 Manfaat penelitian
Secara operasional, manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoristis yang diharapkan adalah memperkaya kajian sosiolinguistik khususnya tentang variasai bahasa, serta dapat menghasilkan deskripsi mengenai bahasa gaul sebagai bahasa remaja.
Manfaat prakatis yang dapat diharapkan dari penelitian ini adalah bagi guru khususnya yaitu untuk bahan pengajaran, bagi pembaca, penelitian ini dapat menambah pemahaman berbagai bahasa di dalam masyarakat, dan bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi awal dalam penelitian lain khususnya bidang sosiolinguistik.
1.5 Definisi Operasional
Definisi opersional penting ada dalam setiap penelitian agar tidak terjadi kesalahpahaman penafsiran terhadap istilah-istilah yang ada dalam sebuah penelitian. Adapun definisi operaional yang terdapat penelitain berjudul Pemakaian Bahasa Gaul Antartokoh dalam Film Remaja Indonesia Ada Apa Denagn Cinta dan Heart adalah :
1) Bahasa gaul adalah dialek nonformal baik berupa slang atau prokem yang digunakan oleh kalangan remaja (khususnya perkotaan), bersifat sementara, hanya berupa variasi bahasa, penggunaannya meliputi: kosakata, ungkapan, intonasi, pelafalan, pola, konteks serta distribusi.
2) Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat.Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun.Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin.Sementara itu, menurut BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21 tahun.
3) Film merupakan karya budaya yang di dalamnya mencangkup berbagai bidang kesenian yang lainnya sebagai perwujudan rasa, cipta, dan karsa manusia serta dapat berperan sebagai pembangunan pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, serta persebaran informasi.
4) Film Remaja adalah karya seni yang menitikberatkan tema, tokoh, dan suasana remaja yang diangkat dalam sebuah film sekaligus remaja sebagai sasaran utamanya
5) Dialog antartokoh adalah bentuk komunikasi antartokoh dalam sebuah film yang ditulis oleh penulis scenario.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Fungsi Sosial Bahasa dalam Masyarakat
Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam hidup manusia. Manusia sudah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi antarsesamanya sejak berabad-abad silam. Bahasa hadir sejalan dengan sejarah sosial komunitas-komunitas masyarakat atau bangsa. Pemahaman bahasa sebagai fungsi sosial menjadi hal pokok manusia untuk mengadakan interaksi sosial dengan sesamanya.
Bahasa bersifat manasuka (arbitrer). Oleh karena itu, bahasa sangat terkait dengan budaya dan sosial ekonomi suatu masyarakat penggunanya. Hal ini memungkinkan adanya diferensiasi kosakata antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Perkembangan bahasa tergantung pada pemakainya. Bahasa terikat secara sosial, dikontruksi, dan direkonstruksi dalam kondisi sosial tertentu daripada tertata menurut hukum yang diatur secara ilmiah dan universal. Oleh karena itu, bahasa dapat dikatakan sebagai keinginan sosial (Suara Karya, 2006)
Disamping fungsi sosial, bahasa tidak terlepas dari perkembangan budaya manusia. Bahasa berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia. Bahasa dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga, bahasa dapat disebut sebagai cermin zamannya.
Sumarsono dan Paini Partana dalam Sosiolinguistik (2006, hal) menyatakan bahwa bahasa sebagai produk sosial atau produk budaya. Bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan manusia. Sebagai produk sosial atau budaya, bahasa berfungsi sebagai wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, dan sebagai wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu.
Keraf (1980:3) yang menyatakan bahwa bahasa apabila ditinjau dari dasar dan motif pertumbuhannya, bahasa berfungsi sebagai (1) alat untuk menyatakan ekspresi diri, (2) alat komunikasi, (3) alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (4) alat untuk mengadakan kontrol sosial.
Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri dipergunakan untuk mengkespresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Ekspresi diri dari pembicaraan seseorang memperlihatkan segala keinginannya, latar belakang pendidikannya, sosial, ekonomi. Selain itu, pemilihan kata dan ekspresi khusus dapat menandai indentitas kelompok dalam suatu masyarakat.
Menurut Pateda (1987:4) bahwa bahasa merupakan saluran untuk menyampaikan semua yang dirasakan, dipikirkan, dan diketahui seseorang kepada orang lain. Bahasa juga memungkinkan manusia dapat bekerja sama dengan orang lain dalam masyarakat. Hal tersebut berkaitan erat bahwa hakikat manusia sebagai makhluk sosial memerlukan bahasa untuk memenuhi hasratnya.
Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi sosial adalah sebagai alat perhubungan antaranggota masyarakat. Sedangkan sebagai aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia.
Bahasa berperan meliputi segala aspek kehidupan manusia. Termasuk salah satu peran tersebut adalah untuk memperlancar proses sosial manusia. Hal ini sejalan dengan pendapat Nababan (1984:38) bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan bahasalah yang memungkinkan pengembangan kebudayaan sebagaimana kita kenal sekarang.
Bahasa dapat pula berperan sebagai alat integrasi sosial sekaligus alat adaptasi sosial, hal ini mengingat bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa yang majemuk. Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai pemersatu keberseragaman tersebut. Di sinilah fungsi bahasa sangat diperlukan sebagai alat integrasi sosial. Bahasa disebut sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat yang memiliki perbedaan adat, tata krama, dan aturan-aturan dari tempatnya berasal. Proses adaptasi ini akan berjalan baik apabila terdapat sebuah alat yang membuat satu sama lainnya mengerti, alat tersebut disebut bahasa. Dari uraian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia.
Kartomiharjo (1982:1) menguraikan bahwa salah satu butir sumpah pemuda adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan,bahasa Indonesia. Dengan dengan demikian bahasa dapat mengikat anggota-anggota masyarakat pemakai bahasa menjadi masyarakat yang kuat, bersatu, dan maju.
2.2 Variasi Bahasa
Manusia merupakan mahluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah alat komunikasi yang berupa bahasa. Bahasa memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama.
Dalam kelompok sosial tersebut manusia terikat secara individu. Keterikatan individu-individu dalam kelompok ini sebagai identitas diri dalam kelompok tersebut. Setiap individu adalah anggota dari kelompok sosial tertentu yang tunduk pada seperangkat aturan yang disepakati dalam kelompok tersebut. Salah satu aturan yang terdapat di dalamnya adalah seperangkat aturan bahasa.
Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda. Dari adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan bahasa yang dipergunakan bervariasi. Kebervariasian bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur yang memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, variasi bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam.
Lebih sederhana, Sumarsana dan Partana (2000: hal ?) mencoba mengelompokkan apakah dua bahasa merupakan dialek atau subdialek atau hanya sekedar dua variasi saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20 % atau kurang, maka keduanya adalah dua bahasa. Tetapi kalau bisa mencapai 40%-60%, maka keduanya dua dialek; dan kalau mencapai 90% misalnya, jelas keduanya hanyalah dua variasi dari sebuah bahasa.
Dalam variasi bahasa setidaknya terdapat tiga hal, yaitu pola-pola bahasa yang sama, pola-pola bahasa yang dapat dianalis secara deskriptif, dan pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Di samping itu, variasi bahasa dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu, pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan pemakaiannya/ragam (Pateda, 1987: 52)
Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa bervariasi. Yang dimaksud dengan tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik dibatasi oleh sungai, lautan, gunung, maupun hutan. Kebervariasian ini mengahsilkan adanya dialek, yaitu bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda namun masih dipahami oleh pengguna dalam suatau masyarakat bahasa walaupun terpisah secara geografis.
Variasi bahasa dilihat dari segi waktu secara diakronis (historis) disebut juga sebagai dialek temporal. Dialek tersebut adalah dialek yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Perbedaan waktu itu pulalah yang menyebabkan perbedaan makna untuk kata-kata tertentu. Hal ini disebabkan oleh karena bahasa mengikuti perkembangan masyarakat pemakai bahasanya. Itulah mengapa bahasa bersifat dinamis, tidak statis.
Dari segi pemakai, bahasa dapat menimbulkan kebervariasian juga. Istilah pemakai di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Variasi bahasa dilihat dari segi penutur oleh Pateda (1987: 52)dibagi menjadi tujuh, yaitu glosolalia (ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan), idiolek (berkaitan dengan aksen, intonasi, dsb), kelamin, monolingual (penutur bahasa yang memakai satu bahsa saja), rol (peranan yang dimainkan oleh seorang pembicara dalam interaksi sosial), status sosial, dan umur.
Variasi bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam situasi resmi dan bahasa yang dipakai dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kesetandaran ini disebabkan oleh situasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman.
Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh bahasa. Sebuah bahasa, bahasa Indonesia, dapat memiliki berbagai macam status apakah ia sebagai bahasa ibu, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa pemersatu, atau bahasa negara.
Sedangkan Kridalaksana (1984: 142) mengemukakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaiannya yang dibedakan menurut topik, hubungan pelaku, dan medium pembicaraan. Jadi ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaianya, yang timbul menurut situasi dan fungsi yang memungkinkan adanya variasi tersebut.
Ragam bahasa menurut topik pembicaraan mengacu pada pemakaian bahasa dalam bidang tertentu, seperti, bidang jurnalistik (persuratkabaran), kesusastraan, dan pemerintahan. Ragam bahasa menurut hubungan pelaku dalam pembicaraan atau gaya penuturan menunjuk pada situasi formal atau informal. Medium pembicaraan atau cara pengungkapan dapat berupa sarana atau cara pemakaian bahasa, misalnya bahasa lisan dan bahasa tulis. Sehingga, masing-masing ragam bahasa memiliki ciri-ciri tertentu, sehingga ragam yang satu berbeda dengan ragam yang lain.
Pemakaian ragam bahasa perlu penyesuaian antara situasi dan fungsi pemakaian. Hal ini sebagai indikasi bahwa kebutuhan manusia terhadap sarana komunikasi juga bermacam-macam. Untuk itu, kebutuhan sarana komunikasi bergantung pada situasi pembicaraan yang berlangsung. Dengan adanya keanekaragaman bahasa di dalam masyarakat, kehidupan bahasa dalam masyarakat dapat diketahui, misalnya berdasarkan jenis pendidikan atau jenis pekerjaan seseorang, bahasa yang dipakai memperlihatkan perbedaan.
Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasi perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa termasuk bahasa gaul remaja menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing menghendaki kesesuaian bahasa yang digunakan.
2.3 Bahasa Gaul, Slang, dan Prokem
Terdapat dua situasi yang menggolongkan pemakaian bahasa di dalam masyarakat, yaitu situasi resmi dan tidak resmi. Bahasa yang digunakan pada situasi resmi menuntut penutur untuk menggunakan bahasa baku, bahasa formal. Penggunaan bahasa resmi terutama disebabkan oleh keresmian suasana pembicaraan atau komunikasi tulis yang menuntut adanya bahasa resmi. Contoh suasana pembicaraan resmi adalah pidato, kuliah, rapat, ceramah umum, dan lain-lain. Dalam bahasa tulis bahasa resmi banyak digunakan dalam surat dinas, perundang-undangan, dokumentasi resmi, dan dan lain-lain.
Situasi tidak resmi akan memunculkan suasana penggunaan bahasa tidak resmi juga. Kuantitas pemakian bahasa tidak resmi banyak tergantung pada tingkat keakraban pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Dalam situasi tidak resmi, penutur bahasa tidak resmi mengesampingkan pemakaian bahasa baku atau formal. Kaidah dan aturan dalam bahasa bahasa baku tidak lagi menjadi perhatian. Prinsip yang dipakai dalam bahasa tidak resmi adalah asal orang yang diajak bicara bisa mengerti. Situasi semacam ini dapat terjadi pada situasi komunikasi remaja di sebuah mal, interaksi penjual dan pembeli, dan lain-lain. Dari ragam tidak resmi tersebut, selanjutnya memunculkan istilah yang disebut dengan istilah bahasa gaul.
Ismail Kusmayadi (Pikiran Rakyat, 2006) mengkawatirkan terkikisnya bahasa Indonesia yang baik dan benar di tengah arus globalisasi. Kecenderungan masyarakat ataupun para pelajar menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari semakin tinggi. Dan yang lebih parah makin berkembangnya bahasa slank atau bahasa gaul yang mencampuradukkan bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.
Saat ini bahasa gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum. Bahasa gaul sering digunakan sebagai bentuk percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial bahkan dalam media-media populer serperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan digunakan sebagai publikasi yang ditujukan untuk kalangan remaja oleh majalah-majalah remaja populer. Oleh sebab itu, bahasa gaul dapat disimpulkan sebagai bahasa utama yang digunakan untuk komunikasi verbal oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti halnya bahasa lain, bahasa gaul juga mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut dapat berupa penambahan dan pengurangan kosakata. Tidak sedikit kata-kata yang akan menjadi kuno (usang) yang disebabkan oleh tren dan perkembangan zaman. Maka dari itu, setiap generasi akan memiliki ciri tersendiri sebagai identitas yang membedakan dari kelompok lain. Dalam hal ini, bahasalah sebagai representatifnya.
Dari segi fungsinya, bahasa gaul memiliki persamaan anatara slang, dan prokem. Kosa kata bahasa remaja banyak diwarnai oleh bahasa prokem, bahasa gaul, dan istilah yang pada tahun 1970-an banyak digunakan oleh para pemakai narkoba (narkotika, obat-obatan dan zat adiktif). Hampir semua istilah yang digunakan bahasa rahasia di antara mereka yang bertujuan untuk menghindari campur tangan orang lain. Bahasa gaul remaja merupakan bentuk bahasa tidak resmi (Nyoman Riasa, 2006)
Oleh karenanya bahasa gaul remaja berkembang seiring dengan perkembangan zaman, maka bahasa gaul dari masa ke masa berbeda. Tidak mengherankan apabila bahasa gaul remaja digunakan dalam lingkungan dan kelompok sosial terbatas, yaitu kelompok remaja. Hal ini berarti bahwa bahasa gaul hanya digunakan pada kelompok sosial yang menciptakannya. Anggota di luar kelompok sosial tersebut sulit untuk memahami makna bahasa tersebut.
Fathuddin (1999: i) mengungkapkan bahwa slang merupakan bahasa gaul yang hidup dalam masyarakat petutur asli dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam obrolan antar teman, atau dalam media seperti teve, film dan besar kemungkinan dalam novel saat memaparkan suasana sosial tertentu.
Selanjutnya, Alwasilah (1993: 47) menyatakan bahwa penggunaan slang adalah memperkaya kosa kata bahasa dengan mengkomunikasikan kata-kata lama dengan makna baru. Pemakaian slang dengan kosakata yang sama sekali baru sangat jarang ditemui. Slang merupakan kawasan kosakata, bukan gramar atau pengucapan.
Bahasa Slang oleh Kridalaksana (1982:156) dirumuskan sebagai ragam bahasa yang tidak resmi dipakai oleh kaum remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha orang di luar kelompoknya tidak mengerti, berupa kosa kata yang serba baru dan berubah-ubah. Hal ini sejalan dengan pendapat Alwasilah (1985:57) bahwa slang adalah variasi ujaran yang bercirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, dipakai oleh kaum muda atau kelompok sosial dan profesional untuk komunikasi di dalamnya.
Slang digunakan sebagai bahasa pergaulan. Kosakata slang dapat berupa pemendekan kata, penggunaan kata alam diberi arti baru atau kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Disamping itu slang juga dapat berupa pembalikan tata bunyi, kosakata yang lazim diapakai di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang berbeda makna sebenarnya.
Bahasa prokem biasa juga disebut sebagai bahasa sandi, yaitu bahasa yang dipakai dan digemari oleh kalangan remaja tertentu (Laman Pusat Bahasa dan Sastra, 2004). Sarana komunikasi seperti ini diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya. Bahasa prokem itu tumbuh dan berkembang sesuai dengan latar belakang sosial budaya pemakainya. Tumbuhkembang bahasa seperti itu selanjutnya disebut sebagai perilaku bahasa dan bersifat universal. Artinya bahasa-bahasa seperti itu akan ada pada kurun waktu tertentu (temporal) dan di dunia mamapun sifatnya akan sama (universal).
Kosakata bahasa prokem di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya. Bahasa prokem berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan menggunakan bahasa prokem, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.
Kehadiran bahasa prokem itu dapat dianggap wajar karena sesuai dengan tuntutan perkembangan nurani anak usia remaja. Masa hidupnya terbatas sesuai dengan perkembangan usia remaja. Selain itu, pemakainnya pun terbatas pula di kalangan remaja kelompok usia tertentu dan bersifat tidak resmi. Jika berada di luar lingkungan kelompoknya, bahasa yang digunakannya beralih ke bahasa lain yang berlaku secara umum di lingkungan masyarakat tempat mereka berada. Jadi, kehadirannya di dalam pertumbuhan bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah tidak perlu dirisaukan karena bahasa itu masing-masing akan tumbuh dan berkembang sendiri sesuai dengan fungsi dan keperluannya masing-masing.
2.5 Sejarah Pemakaian Bahasa Gaul
Bahasa prokem awalnya digunakan para preman yang kehidupannya dekat dengan kekerasan, kejahatan, narkoba, dan minuman keras. Istilah-istilah baru mereka ciptakan agar orang-orang di luar komunitas tidak mengerti. Dengan begitu, mereka tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi untuk membicarakan hal negatif yang akan maupun yang telah mereka lakukan (Laman Wilkipedia Indonesia, 2005).
Para preman tersebut menggunakan bahasa prokem di berbagai tempat. Pemakaian bahasa tersebut tidak lagi pada tempat-tempat khusus, melainkan di tempat umum. Lambat laun, bahasa tersebut menjadi bahasa yang akrab di lingkungan sehari-hari, termasuk orang awam sekalipun dapat menggunakan bahasa sandi terebut.
Karena begitu seringnya mereka menggunakan bahasa sandi tersebut di berbagai tempat, lama-lama orang awam pun mengerti maksud bahasa tersebut. Akhirnya mereka yang bukan preman pun ikut-ikutan menggunakan bahasa ini dalam obrolan sehari-hari sehingga bahasa prokem tidak lagi menjadi bahasa rahasia.
Sebuah artikel di Kompas berjudul So What Gitu Loch….(2006: 15) menyatakan bahwa bahasa prokem atau bahasa okem sebenarnya sudah ada sejak 1970-an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Oleh karena sering digunakan di luar komunitasnya, lama-lama istilah-istilah tersebut jadi bahasa sehari-hari.
Lebih lanjut, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa pada tahun 1970-an, kaum waria juga menciptakan bahasa rahasia mereka. Pada perkembangannya, para waria atau banci lebih rajin berkreasi menciptakan istilah-istilah baru yang kemudian ikut memperkaya khasanah perbendaharaan bahasa gaul.
Kosakata bahasa gaul yang berkembang belakangan ini sering tidak beraturan dan cenderung tidak terumuskan. Bahkan kita tidak dapat mempredeksi bahasa apakah yang berikutnya akan menjadi bahasa gaul.
Pada mulanya pembentukan bahasa slang, prokem, cant, argot, jargon dan colloquial di dunia ini adalah berawal dari sebuah komunitas atau kelompok sosial tertentu yang berada di kelas atau golongan bawah (Alwasilah, 2006:29). Lambat laun oleh masyarakat akhirnya bahasa tersebut digunakan untuk komunikasi sehari-hari.
Terdapat berbagai alasan kenapa masyarakat tersebut menggunakan bahasa-bahasa yang sulit dimengerti oleh kelompok atau golongan sosial lainnya. Alasan esensialnya adalah sebagai identitas sosial dan merahasiakan sesuatu dengan maksud orang lain atau kelompok luar tidak memahami.
Kompas (2006: 50) menyebutkan bahwa bahasa gaul sebenarnya sudah ada sejak tahun 1970an. Awalnya istilah-istilah dalam bahasa gaul itu digunakan untuk merahasiakan isi obrolan dalam komunitas tertentu. Tapi karena intensitas pemakaian tinggi, maka istilah-istilah tersebut menjadi bahasa sehari-hari.
Hal ini sejalan dengan laman Wilimedia Ensiklopedi Indonesia (2006), yang menyatakan bahwa bahasa gaul merupakan salah satu cabang dari bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk pergaulan. Istilah ini mulai muncul pada akhir ahun 1980-an. Pada saat itu bahasa gaul dikenal sebagai bahasa para bajingan atau anak jalanan disebabkan arti kata prokem dalam pergaulan sebagai preman. Lebih lanjut dalam Pikiran Rakyat, tercatat bahwa bahasa gaul pada awalnya merupakan bahasa yang banyak digunakan oleh kalangan sosial tertentu di Jakarta, kemudian secara perlahan merambah kalangan remaja terutama di kota-kota besar.
Dalam sebuah milis (2006) disebutkan bahwa bahasa gaul memiliki sejarah sebelum penggunaannya popular seperti sekarang ini. Sebagai bahan teori, berikut adalah sejarah kata bahasa gaul tersebut:
1). Nih Yee...
Ucapan ini terkenal di tahun 1980-an, tepatnya November 1985. pertama kali yang mengucapkan kata tersebut adalah seorang pelawak bernama Diran. Selanjutnya dijadikan bahan lelucon oleh Euis Darliah dan popular hingga saat ini.
2) Memble dan Kece
Dalam milis tersebut dinyatakan bahwa kata memble dan kece merupakan kata-kata ciptaan khas Jaja Mihardja. Pada tahun 1986, muncul sebuah film berjudul Memble tapi Kece yang diperankan oleh Jaja Mihardja ditemani oleh Dorce Gamalama.
3) Booo....
Kata ini popular pada pertengahan awal 1990-an. Penutur pertama kata Boo…adalah grup GSP yang beranggotakan Hennyta Tarigan dan Rina Gunawan. Kemudian kata-kata dilanjutkan oleh Lenong Rumpi dan menjadi popular di lingkungan pergaulan kalangan artis. Salah seorang artis bernama Titi DJ kemudian disebut sebagai artis yang benar-benar mempopulerkan kata ini.
4) Nek...
Setelah kata Boo... popular, tak lama kemudian muncul kata-kata Nek... yang dipopulerkan anak-anak SMA di pertengahan 90-an. Kata Nek... pertama kali di ucapkan oleh Budi Hartadi seorang remaja di kawasan kebayoran yang tinggal bersama neneknya. Oleh karena itu, lelaki yang latah tersebut sering mengucapkan kata Nek...
5) Jayus
Di akhir dekade 90-an dan di awal abad 21, ucapan jayus sangat popular. Kata ini dapat berarti sebagai ‘lawakan yang tidak lucu’, atau ‘tingkah laku yang disengaca untuk menarik perhatian, tetapi justru membosankan’. Kelompomk yang pertama kali mengucapkan kata ini adalah kelompok anak SMU yang bergaul di kitaran Kemang.
Asal mula kata ini dari Herman Setiabudhi. Dirinya dipanggil oleh teman-temannya Jayus. Hal ini karena ayahnya bernama Jayus Kelana, seorang pelukis di kawasan Blok M. Herman atau Jayus selalu melakukan hal-hal yang aneh-aneh dengan maksud mencari perhatian, tetapi justru menjadikan bosan teman-temannya. Salah satu temannya bernama Sonny Hassan atau Oni Acan sering memberi komentar jayus kepada Herman. Ucapan Oni Acan inilah yang kemudian diikuti teman-temannya di daerah Sajam, Kemang lalu kemudian merambat populer di lingkungan anak-anak SMU sekitar.
6. Jaim
Ucapan jaim ini di populerkan oleh Bapak Drs. Sutoko Purwosasmito, seorang pejabat di sebuah departemen, yang selalu mengucapkan kepada anak buahnya untuk menjaga tingkah laku atau menjaga image.
itu
7. Gitu Loh...(GL)
Kata GL pertama kali diucapin oleh Gina Natasha seorang remaja SMP di kawasan Kebayoran. Gina mempunyai seorang kakak bernama Ronny Baskara seorang pekerja event organizer. Sedangkan Ronny punya teman kantor bernama Siska Utami. Suatu hari Siska bertandang ke rumah Ronny. Ketika dia bertemu Gina, Siska bertanya dimana kakaknya, lantas Gina ngejawab di kamar, Gitu Loh. Esoknya si Siska di kantor ikut-ikutan latah dia ngucapin kata Gitu Loh...di tiap akhir pembicaraan.
2.4 Ciri- ciri Bahasa Gaul
Ragam bahasa ABG memiliki ciri khusus, singkat, lincah dan kreatif. Kata-kata yang digunakan cenderung pendek, sementara kata yang agak panjang akan diperpendek melalui proses morfologi atau menggantinya dengan kata yang lebih pendek seperti ‘permainan - mainan, pekerjaan - kerjaan.
Kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan berstruktur kalimat tunggal. Bentuk-bentuk elip juga banyak digunakan untuk membuat susunan kalimat menjadi lebih pendek sehingga seringkali dijumpai kalimat-kalimat yang tidak lengkap. Dengan menggunakan struktur yang pendek, pengungkapan makna menjadi lebih cepat yang sering membuat pendengar yang bukan penutur asli bahasa Indonesia mengalami kesulitan untuk memahaminya. (Nyoman Riasa)
1. Tambahan awalan ko.
Awalan ko bisa dibilang sebagai dasar pembentukan kata dalam bahasa okem. Caranya, setiap kata dasar, yang diambil hanya suku kata pertamanya. Tapi suku kata pertama ini huruf terakhirnya harus konsonan. Misalnya kata preman, yang diambil bukannya pre tapi prem. Setelah itu tambahi awalan ko, maka jadi koprem. Kata koprem ini kemudian dimodifikasi dengan menggonta-ganti posisi konsonan sehingga prokem. Dengan gaya bicara anak kecil yang baru bisa bicara, kata prokem lalu mengalami perubahan bunyi jadi okem. (komasp)
2. Kombinasi e + ong
Kata bencong itu bentukan dari kata banci yang disisipi bunyi e dan ditambah akhiran ong. Huruf vokal pada suku kata pertama diganti dengan e. Huruf vokal pada suku kata kedua diganti ong.
3. Tambahan sisipan Pa/pi/pu/pe/po
Setiap kata dimodifikasi dengan penambahan pa/pi/pu/pe/po pada setiap suku katanya. Maksudnya bila suku kata itu bervokal a, maka ditambahi pa, bila bervokal i ditambahi pi, begitu seterusnya.
2.5 Distribusi Geografis Bahasa Gaul
Bahasa gaul umumnya digunakan di lingkungan perkotaan. Terdapat cukup banyak variasi dan perbedaan dari bahasa gaul bergantung pada kota tempat seseorang tinggal, utamanya dipengaruhi oleh bahasa daerah yang berbeda dari etnis-etnis yang menjadi penduduk mayoritas dalam kota tersebut. Sebagai contoh, di Bandung, Jawa Barat, perbendaharaan kata dalam bahasa gaulnya banyak mengandung kosakata-kosakata yang berasal dari bahasa sunda.
BAB III
3. 1 Jenis Penelitian
Penelitian tentang Pemakaian bahasa gaul antartokoh film remaja Indonesia ini berkaitan dengan suatu gejala kebahasaan yang sifatnya alamiah. Artinya data yang dikumpulkan berasal dari lingkungan nyata dan situasi apa adanya, yaitu dialog antartokoh film. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Hal ini disebabkan oleh karena data yang terkumpul dan dianalisis dipaparkan secara deskriptif .
Metode penelitian deskriptif berbeda dengan metode perskriptif. Metode penelitian deskriptif memiliki beberapa ciri, antara lain (1) tidak mempermasalahkan benar atau salah objek yang dikaji, (2) penekanan pada gejala aktual atau pada yang terjadi pada saat penelitian dilakukan, dan (3) biasanya tidak diarahkan untuk menguji hipotesis. Begitu sebaliknya dengan metode penelitian perspkriptif.
Hal ini sejalan dengan pendapat Arikunto (1990: 194) yang menyatakan bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji suatu hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan. Dalam penelitian ini, data yang terkumpul berupa kata-kata dan dalam bukan dalam bentuk angka. Maka dari itu, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Alasan lain bahwa penelitian ini merupakan pendekatan kualitatif adalah (1) penyajian hasil penelitian ini berupa penjabaran tentang objek, (2) pengumpulan data dengan latar alamiah, (3) peneliti menjadi instrument utama.
3. 2 Subjek Penelitian
Berkaitan dengan hal di atas, yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemakaian bahasa gaul remaja dalam dialog antartokoh film remaja Indonesia. Hal tersebut meliputi pola bentuk morfologis dan pola makna bahasa gaul tersebut. Sedangkan subjek dari penelitian ini adalah tokoh-tokoh film remaja ketika berdialog
3. 3. Data Penelitian dan Sumber Data
Data dari penelitian ini berupa kata yang digunakan dalam berkomunikasi antarsatu tokoh dengan tokoh yang lainnya. Sumber data dari penelitian ini adalah percakapan antartokoh sebagai interaksi komunikasi.
3. 4 Instrumen Penelitian
Peneliti disebut sebagai human interest mana kala peneliti tersebut berperan sebagai sebagai instrument utama. Di dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai peneliti utama. Sebagai instrument tambahan atau pelengkapnya, peneliti dibantu dengan perlengkapan computer dan CD atau DVD film remaja Indonesia.
3. 5 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah teknik observasi sebagai teknik utama. Observasi dilakukan dengan cara simak-catat, yaitu peneliti mencatat data bahasa dan konteksnya yang meliputi (1) topiknya, (2) suasananya, (3) tempat pembicaraan, serta (4) lawan bicaranya.
Melalui teknik observasi, dengan cara pengamatan partisipan oleh peneliti sendiri, maka akan diperoleh data yang wajar dan alami. Berikut adalah hal-hal yang diperlukan dalam observasi (1) gambaran keadaan tempat dan ruang berlangsungnya pembicaraan, (2) pelaku-pelaku yang terlibat, (3) aktivitas atau kegiatan saat berlangsungnya percakapan, dan (4) topik dari isi pembicaraan. Selanjutnya, observasi dalam penelitian ini meliputi
a) Persiapan
Persiapan ini adalah tahap paling awal dari observasi. Tahap persiapan ini dimulai dari mempersiapkan peralatan dan perlengkapan untuk mencatat situasi atau keadaan percakapan yang tengah berlangsung. Peralatan dan perlengkapan yang dimaksud berupa alat-alat tulis untuk mencatat.
b) pelaksanaan
Tahap pelaksanaan dalam penelitian ini dilakukan secara bertahap. Artinya, data yang berhasil tercatat pada tahap pertama, akan diulangi lagi pada tahap berikutnya untuk menentukan informasi tambahan. Tahap pertama dalam pelaksanaan ini selanjutnya disebut sebagai tahap eksplorasi, yaitu proses pencatatan data penelitian dari dialog antartokoh dalam filmremaja. Tahap kedua disebut sebagai tahap terseleksi. Tahap ini dilakukan pemutaran ulang film untuk mendapatkan informasi yang khusus serta pengecekan dalam kamus bahasa gaul.
c) pemantapan observasi
Langkah terakhir dari pengumpulan data ini adalah pemantapan observasi. Pemantapan observasi ini berupa pengecekan ulang data-data yang sudah berhasil terekam. Kegiatan pemantapan ini dilaksanakan beberapa kali sampai benar-benar memperoleh data yang memadai.
3.6 Teknik Analisa Data
Teknik deskriptif yang dipakai dalam penelitian ini menghasilkan tiga macam analisis data, yaitu sebagai berikut:
1. Menganalisis pemakaian bahasa gaul dalam film remaja Indonesia
Pemakaian bahasa gaul tersebut meliputi:
a) bahasa yang digunakan
b) konteks yang terdapat dalam komunikasi tersebut
c) hubungan antara unsur-unsur linguistik
2. Pengklasifikasian bahasa gaul remaja berdasarkan bentuk dan kelasnya
a) bentuk verbal kebahasaannya
b) proses pembentukannya
sumber: http://lubisgrafura.wordpress.com/2006/11/03/skripsi-bahasa-gaul-remaja-indonesia/
Home »
ARTIKEL BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
» PENELITIAN BAHASA GAUL DALAM FILM
PENELITIAN BAHASA GAUL DALAM FILM
Written By Hadi Prayitno on Senin, 19 Juli 2010 | 03.31
Related Articles
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
0 komentar:
Posting Komentar