.
Home » » BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS DAN PENYATU BANGSA

BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS DAN PENYATU BANGSA

Written By Hadi Prayitno on Senin, 19 Juli 2010 | 03.32

BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS DAN PENYATU BANGSA MENGHADAPI PENGUBAH SOSIAL
Mansoer Pateda
IKIP Gorontalo

1. Fungsi Bahasa Indonesia
Seminar Politik Bahasa Nasional, 25-28 Februari 1975 di Jakarta, antara lain merumuskan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat BI) berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) pemersatu berbagai masyarakat yang berbeda latar belakang sosial budaya bahasa, dan (4) alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1975:5). Dalam pergaulan internasional, BI mewujudkan identitas bangsa sebagai identitas fonik, di samping identitas fisik, yakni bendera merah putih dan garuda Pancasila.
Beriringan dengan pesatnya perkembangan BI sebagai lambang identitas nasional, teraktualisasikan pula perkembangan bahasa daerah (selanjutnya disingkat BD) sebagai lambang identitas daerah yang keberadaannya diakui di dalam UUD 1945 yang secara bersamaan dengan BI menghadapi arus globalisasi. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak ada persaingan antara BI dan BD. Oleh karena itu, pemerintah tidak ragu-ragu mengonsepkan kurikulum muatan lokal yang memberikan peluang bagi sekolah-sekolah untuk mengajarkan BD di daerah masing-masing.
2. Identitas Bangsa
Sosok yang menunjukkan bahwa dia adalah Indonesia, baik sebagai negara maupun sebagai bangsa, berwujud dalam dua kenyataan, yakni BI yang menampakkan diri sebagai identitas fonik dan merah putih serta Garuda Pancasila sebagai wujud fisik. Jika kita berada di luar negeri, lalu ada bunyi yang kita dengar, misalnya "oh kakiku", serta merta kita mengatakan, ia adalah orang Indonesia tidak peduli, apakah ia orang Batak, Dayak, atau orang Saparua. Demikian pula, kalau kita melihat sebuah gedung, lalu di situ berkibar bendera merah putih, dan di depan pintunya ada gambar garuda, kita dapat memastikan bahwa gedung tersebut adalah gedung perwakilan RI. Hal yang sama, jika kita menyaksikan pasukan multibangsa, lalu ada pasukan yang baretnya ada pita kain merah putih, dan di dada atau di lengan anggota pasukan tersebut ada lambang garuda, kita dapat memastikan bahwa pasukan tersebut adalah pasukan RI.
Dalam kaitan ini kita patut berbangga kepada Presiden kita karena hampir dalam setiap kesempatan selalu menggunakan BI yang ternyata lebih memantapkan identirtas bangsa adalah pergaulan internasional.
3. Arus Globalisasi
Arus globalisasi menimbulkan pengubah sosial yang menurut Emil Salim (1990) menimpa empat bidang kekuatan yang menonjol daya dobraknya. Keempat bidang kekuatan itu, yakni pertama gelombang perkembangan yang amat tinggi dalam bidang IPTEK. Gelombang kedua, yakni bidang ekonomi, misalnya yang dapat kita amati penyatuan pasar Eropa Barat, AS, dan Kanada. Kecenderungan ini merupakan perilaku ekonomi global yang praktis telah mencakup sebagian wilayah di dunia ini tanpa mengenal batas. Gelombang ketiga, yakni masalah lingkungan hidup, misalnya kalau terjadi pencemaran laut di Selat Malaka, dampaknya tidak hanya dirasakan Malaysia, Singapura, dan Indonesia, tetapi juga di negara tetangga lainnya. Gelombang keempat, yakni bidang politik sehingga dewasa ini tak ada lagi suatu negara yang hanya memeprtaruhkan potensi yang terdapat di dalam negaranya.
Arus globalisasi itu telah menimbulkan pengubah sosial yang dalam waktu-waktu yang akan datang akan terjelma dalam perilaku sosial, baik perilaku sosial bermasalah maupun perilaku sosial yang positif . Kenyataan menunjukkan di mana-mana selalu digebyarkan kata atau urutan kata persaingan, harga bersaing, persaingan global, kalah bersaing, dan memasuki persaingan global.
4. Pengaruh Arus Globalisasi
Arus globalisasi tentu saja akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia sejagat. Pengaruh itu, anara lain akan terlihat dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Salah satu pokok yang dihadapi dunia pendidikan adalah masalah identitas bangsa.
Kalau kita berbicara identitas bangsa, mau tidak mau kita akan berbicara tentang kebudayaan, dan kalau kita berbicara tentang kebudayaan, mau tidak mau kita akan mempersoalkan bahasa. Itu sebabnya Makagiansar (1990) menekankan perlunya kesadaran tentang identitas budaya, bahkan Emil Salim (1990) menyatakan upaya mempertahankan identias merupakan prioritas yang harus diperjuagkan mati-matian dengan cirri utama keseimbangan antara aspek material dan spiritual. Pengaruh arus globalisasi dalam identitas bangsa itu tecermin, antara lain, dari sikap lebih mengutamakan penggunaan bahasa asing (disingkat BA) daripada penggunaan BI, misalnya dalam penamaan kompleks perumahan, dan sikap mementingkan kegiatan tertentu, misalnya demi kegiatan pengembangan pariwisata dan bisnis. Syukurlah sikap seperti itu mulai disadari, dan diambil langkah-langkah nyata mengganti kata-kata asing dengan kata-kata Indonesia.
5. Pengaruh Muatan Lokal sebagai Upaya Penangkal Arus Globalisasi
Berdasarkan Petunjuk Penerangan Muatan Lokal (Depdikbud, 1987), yang dimaksud muatan lokal adalah program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan kebutuhan daerah yang perlu dipelajari oleh murid. Dalam pelaksanaannya pengajaran muatan lokal itu menyangkut banyak aspek, misalnya kebudayaan daerah, pariwisata, industri rumah tangga, kerajinan rakyat, dan agrobisnis. Di daerah tertentu, tekanan pengajaran muatan lokal diarahkan pada pengajaran BD. Salah satu tujuan yang tersirat dari upaya ini adalah kiat menangkal arus globalisasi.
Jika kita melekatkan bahasa pada kelompok etnik, penulis mengingatkan pernyataan Gumperz dan Gumpersz (1985: 2) yang menyatakan bahwa konflik sosial yang terjadi pada dekade terakhir ini disebabkan oleh konflik etnik, kelas, atau agama. Namun, ahli bahasa , misalnya Stewart (lihat Moeliono, 1985: 45) berpendapat keanekabahasaan cenderung ke arah kestabilan sehingga bahasa yang dipakai secara berdampingan akan isi-mengisi dalam perubahan bermacam-macam fungsi tanpa persaingan. Pendapat Stewart ini diwujudkan oleh adanya ideologi penyatu bangsa, yakni Pancasila sehingga perbedaan antara bahasa-bahasa di Indonesia akan dikecil-kecilkan, bahkan dianggap seakan-akan tidak ada.
Kita bersyukur kepada Allah SWT atas fenomena ini karena antara BI dan BD tidak terjadi persaingan, bahkan saling menopang . Itu sebabnya upaya penelitian dan pengembangan BD, bahkan pengajarannya harus diusahakan untuk menopang pembinaan dan pengembangan BI. Kita juga bersyukur karena persoalan bahasa nasional telah kita selesaikan melalui ikrar besar Sumpah Pemuda 1928.
6. Tantangan terhadap Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia sebagai lambang dan identitas nasioanl tidak luput dari tantangan. Meskipun BI telah menjelma menjadi potensi budaya bangsa Indonesia, tantangan yang telah nyata sekarang, dan tantangan yang perlu diantisipasi harus dihadapai dengan perencanaan, pemikiran konseptual, intelektual dan penuh kearifan. Tantangan itu ada yang bersifat internal dan ada yang bersifat eksternal. Tantangan yang bersifat eksternal itu, antara lain arus globalisasi.
Menurut pendapat Amran Halim (lihat Kompas, 8 Maret 1995, halaman 16) setelah 67 tahun BI dikukuhkan sebagai bahasa persatuan, situasi kebahasaan ditandai oleh dua tantangan. Tantangan pertama, yakni perkembangan BI yang dinamis, tetapi tidak menimbulkan pertentangan di antara masyarakat. Pada saat bersamaan bangsa Indonesia sudah mencapai kedewasaan berbahasa. Sekarang tumbuh kesadaraan secara emosional bahwa perilaku berbahasa tidak terkait dengan masalah nasionalisme. Buktinya, banyak orang yang lebih suka memakai BA, demikian Amran Halim.
Tantangan kedua, yakni persoalan tata istilah dan ungkapan ilmiah. Tantangan kedua ini yang menimbulkan prasangka yang tetap diidap ilmuwan kita yang mengatakan bahwa BI miskin, bahkan kita dituduh belum mampu menyediakan sepenuhnya padanan istilah yang terdapat dalam banyak disiplin ilmu, teknologi, dan seni. Menurut Moeliono (1991: 15) prasangka itu bertumpu pada pendirian apa yang tidak dikenal atau diketahui, tidak ada dalam BI.
Kedua tantangan menurut Amran Halim dapat dikategorikan sebagai tantangan yang bersifat internal. Tantangan itu dapat dilihat dari kenyataan BI itu sendiri, dan yang satu dari pemilik dan penutur BI sendiri. Tantangan yang datang dari pemilik dan penutur Bi sebenarnya bersumber dari sikap, kesadaran berbahasa yang kemudian tecermin dalam perilaku berbahasa (lihat Fishman, 1975:24-28, Pateda, 1990: 25-32). Terhadap ujaran sulitnya mendapatkan padanan istilah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sebenarnya Pusat Bahasa bekerja sama dengan para pakar dalam disiplin ilmu tertentu telah mengupayakan menerbitkan kamus, antara lain Kamus Istilah Teknik Perkapalan (Soegiono dkk, 1985), Kamus Istilah Politik (Muhaimin dkk, 1985), Kamus Istilah Teknologi Mineral (Soetjipto dkk, 1985), tetapi barangkali tidak luas, maka tuduhan di atas muncul.
7. Perencanaan Bahasa sebagai Upaya Penanggulangan Tantangan
Seperti telah dikemukakan di atas, banyak tantangan yang menghadang BI sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional. Untuk itu, perlu dilakukan kiat-kiat strategis dan taktis untuk menanggulanginya. Kerja awal yang layak dipertimbangkan, yakni melaksanakan perencanaan dan pengembangan BI secara sistematis.
Berbicara mengenai perencanaan bahasa, Moeliono (1985: 5--11) melihat pembahasannya dari tiga hal, yakni (1) perencanaan fungsional, (2) perencanaan sebagai proses, dan (3) penamaan yang bervariasi. Perencanaan dilihat dari segi proses meliputi tiga kegiatan, yakni (10 perencanaan , (2) pelaksanaan, dan (3) penilaian (cf. Robin dalam Fasold, 1984: 254). Sementara itu, Klose (lihat Fishman, 1974, 112) mengidentifikasi dimensi perencanaan bahasa yamg meliputi (10 korpus bahasa, (20 status bahasa, dan (3) aspek yang mempengaruhi perkembangan bahasa, misalnya ekonomi. Dalam kaitan dengan dimensi-dimensi ini, Jernudd (lihat Eastman, 1983:146-147) menyebutkan kegiatan perencanaan bahasa yang meliputi (1) kodifikasi , (2) regularisasi, (3) simplikasi, (4) purifikasi, (5) elaborasi, (6) impelementasi, dan (7) evaluasi. Sementara itu, Christian (lihat Newmeyer, 1988: 197) menyatakan bahwa komponen kunci dalam perencanaan bahasa meliputi (1) intervensi, (2) eksplisit, (3) beroreantasi pada tujuan, (4) sistematis, (5) memilih dari berbagai alternatif, dan (6) bersifat institusional.
Berdasarkan uraian di atas, untuk melaksanakan kegiatan perencanaan bahasa di Indonesia, kita harus melaksanakan kegiatan terpadu yang melibatkan selain unsur pemerintah, juga (10 ABRI, (2) badan peradilan, (3) organisasi keagamaan, (4) penerbit, (5) organisasi profesi kebahasaan, (6) linguis, (7) pakar bidang linguistik, (8) guru bahasa, (9) tokoh masyarakat (cf. Moeliono, 1985: 19). Konsekuensi logis selanjutnya, yakni mengharapkan agar Putusan Kongres Bahasa (1993) yang berisi, antara lain agar status Pusat Bahasa ditingkatkan, supaya diwujudkan oleh pemerintah.
8. Peranan Media Massa Ditingkatkan
Peranan media massa, baik media tulis maupun elektronik perlu ditingkatkan. Dalam kaitan ini, kesadaran dan tanggung jawab para wartawan terhadap BI dan berbahasa Indonesia harus ditingkatkan. Seperti diketahui, hasil karya seorang wartawan menjadi anutan pemakai bahasa sehingga dengan demikian, dakwaan Rosihan Anwar (1991:9) yang mengatakan, "sebenarnya wartawan tampil sebagai perusak bahasa" dapat dihindari.
9. Pengajaran Kebangsaan Dipertimbangkan Diberikan
Di depan telah dikatakan bahwa salah satu pokok yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah identitas bangsa. Identitas bangsa berakar pada anggota warga Indonesia sebagai pribadi. Memperhatikan kejadian akhir-akhir ini, yakni timbulnya premanisme, kenakalan remaja, dan penyalahgunaan rekayasa tumbuhan tertentu memperlihatkan adanya "krisis jati diri" yang tidak menemukan jawaban atas pertanyaan, siapakah aku ini? Hal itu tidak terlepas dari pandangan manusia sebagai substansi dan manusia sebagai makhluk yang mempunyai identitas (Verhaar, 1980: 11).
Persoalan krisis jati diri yang berpangkal dari pandangan bahwa manusia sebagai substansi, dan sebagai makhluk yang beridentitas yang kemudian dikaitkan dengan pembinaan dan pengembangan BI sebagai upaya mempertahankan identitas bangsa, maka pengajaran kebangsaan sebaiknya dipertimbangkan untuk diberikan dalam lembaga pendidikan kita. Dewasa ini substansi jiwa kebangsaan seolah-olah ditempelkan pada mata pelajaran PMP dan PSPB.
10. GBPP Bahasa Indonesia
Seperti diketahui, sekolah-sekolah melaksanakan GBPP Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum 2002. Jika kita melihat rumusan-rumusan operasionalisasi pembelajaran BI yang terdapat di dalam GBPP, guru mengalami kesulitan untuk melaksanakannya. Hal yang ingin dikatakan di sini, yakni penggantian GBPP sebaiknya jangan selalu dilakukan.
11. Mutu Guru Bahasa Indonesia
Berdasarkan kegiatan kebahasaan yang penulis lakukan melalui MLI Komisariat Daerah Gorontalo bekerja sama dengan Depdikbud/Dinas PDK Kotamadya dan Kabupaten Gorontalo, dapat diambil simpulan bahwa guru lebih banyak mengajarkan teori daripada praktik berbahasa. Hal yang ingin disarankan di sini, yakni mutu guru BI sebaiknya ditingkatkan. Selain itu, guru SD yang setiap hari bertindak sebagai guru kelas, sebaiknya ditinjau kembali.
12. Penyuluhan Bahasa Indonesia
Penyuluhan bahasa sebagai upaya pembinaan BI harus dugalakkan terus. Penyuluhan bahasa itu tidak hanya berlaku di tingkat nasional, tetapi juga di daerah tingkat I dan II. Dalam hubungan ini, peranan gubernur dan walikota serta bupati sebagai petinggi di daerah sangat menentukan.
Menurut Moeliono (1001: 5) penyuluhan bahasa di satu pihak dapat dianggap usaha pelengkap penyebaran hasil kodifikasi lewat bentuk lisan dan tulisan, di lain pihak penyuluhan bahasa juga berwujud lewat penerangan tentang soal yang belum atau tidak akan dimuat dalam kodifikasi. Dalam hubungan ini kita harus waspada terhadap tingkat keberterimaan khalayak, dan jangan segera berputus asa terhadap suara sumbang tentang kemampuan BI.
13. Pelibatan Organisasi Kepemudaan
Dikatakan di atas bahwa dalam banyak hal kita harus bekerja secara terpadu. Kadang-kadang kita melupakan potensi daya serap dan kritikan kaula muda kita. Pada hal, generasi muda yang paling berkepentingan dengan berbagai kegiatan pembangunan. Itu sebabnya sangat kuat alasannya untuk melibatkan organisasi kepemudaan dalam upaya pembinaan dan pengembangan BI.
14. Kepedulian Para Petinggi
Kadang-kadang bahasa yang disuluhkan oleh pembicara dari Pusat Bahasa tidak dipedulikan oleh para petinggi di negara kita. Selain itu, penggunaan kata-kata, daripada, yang mana, di mana, saudara-saudara sekalian, dianggap bukan sesuatu yang salah oleh para oknum petinggi di negara kita ini. Dengan kata lain, terdapat kontroversi antara norma bahasa yang dikumandangkan oleh Pusat Bahasa dan kenyataan di lapangan. Kiranya sifat eksklusivisme dalam penggunaan BI sebaiknya dipertimbangkan kembali.
Kepedulian petinggi ini, bukan saja kemudahan mendapatkan dan fasilitas, melainkan juga kepedulian dalam penggunaan BI yang benar, dan koordinasi terhadap oknum pejabat lain, juga untuk menggunakan BI yang benar. Gerakan untuk menggati kata-kata asing menjadi kata-kata Indonesia, misalnya, dalam penamaan kompleks perumahan, tidak hanya diupayakan oleh Pemerintah DKI Jakarta, tetapi juga oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Hal yang sama akan berlaku pula untuk Gerakan Bulan Bahasa yang secara rutin dilaksanakan pada bulan Oktober. Jika kepedulian oknum petinggi, baik di pusat maupun di daerah, dapat ditingkatkan, pembinaan dan pelestarian BI dapat kita saksikan.
15. Penutup
Meskipun dengan keterbatasa dalam banyak hal, penulis ingin mengulangi kata-kata yang pernah dikemukakan (Pateda, 1981: 11), yakni kita wajib mengupayakan kelestarian identitas bangsa melalui bahasa dengan jalan bekerja keras menjalani Kebangkitan Nasional II, dan Era Pembangunan Nasional Tahap II

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Christin, Donna. 1988, "Language planning the view from linguistics" dalam Newmeyer, F. J. Ed. Linguistics the Cambridge Survey. Cambridge University Press (193-109).
Depdikbud, 1987. Language Planning: An Introduction. San Fransisco: Chandler and Sharp.
Salim, Emil, 1990. "Pembekalan Kemampuan Intelektual untuk Menjinakkan Gelombang Globalisasi" dalam Mimbar Pendidikan, Th. IX/4. Bandung: University Press IKIP Bandung (8-15)
Fasold, Ralp. 1984. The Sociolinguistics of Society. Oxford: Basil Blackwell.
1990 The Sociolinguistic of Language. Cambridge: Basil Blackwell.
Fishman, Joshua, A. 1975. Sociolinguistics. Rowbury House Publ.
Gumperz, John dan Gumperz Jennie Cook. 1985. Language and Social Identity. Cambridge: Cambridge University Press.
Makagiansar, M. 1990. "Dimensi dan Tantangan Pendidikan dalam Era Globalisasi" dalam Mimbar Pendidikan. Th. IX/4. Bandung: University Press IKIP Bandung.
Moeliono, Anton. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan.
1991. "Aspek Pembakuan dalam Perencanaan bahasa". Makalah Munas V dan Semloknas I HPBI. Padang: Panitia Penyelenggara.
Newmeyer, Frederick, J. 1988. Linguistics: The Cambridge Survey. Vol. IV Language: The Sociocultural Context. Cambridge: Cambridge University Press.
Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
1991. Pengaruh Arus Globalisasi terhadap Pembinaan Bahasa di Indonesia". Makalah Munas V dan Semloknas I HPBI: Padang: Panitia Penyelenggara.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1975. Seminar Politik Bahasa Nasional. Jakarta: Pusat Bahasa
Rosihan, Anwar. 1991. "Bahasa Indonesia dan Media Massa Elektronika". Makalah Munas V dan Semloknas I HPBI. Padang: Panitia Penyelenggara
Verhaar, J. W. M. 1989. Identitas Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Share this article :

0 komentar:



 
Support : Tohib Mustahib
Copyright © 2013. BAHASA DAN SASTRA INDONESIA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger